Situs Sendhang Seliran berada sekitar 300 meter di barat daya Pasar Kotagede, atau tepatnya di selatan tembok Pasareyan Agung. Sendhang Seliran ini terbagi menjadi dua, yaitu sendhang seliran kakung untuk laki-laki di sebelah utara, dan Sendhang Seliran puteri untuk perempuan di sebelah selatan.
Menurut penuturan berbagai sumber, sendhang ini disebut seliran karena diselirani (dikerjakan sendiri) oleh Ki Ageng Mataram dan Panembahan Senapati. Namun ada juga yang berpendapat, bahwa disebut seliran karena kolam itu airnya berasal dari makam (selira, berarti badan) Panembahan Senapati.
Di dalam Sendhang Seliran puteri, dahulu pernah terdapat kura-kura bernama Kiai Dhudha. Kura-kura berwarna kuning keputihan ini pada mulanya ditemukan di Pantai Samas, Bantul pada tanggal 11 Desember 1973 oleh seorang nelayan setempat. Uniknya, kura-kura tersebut hanya memiliki tiga kaki.
Temuan ini kemudian oleh Bupati Bantul diserahkan kepada penjaga Kompleks Sendhang Seliran untuk dipelihara. Menurut pihak Keraton Yogyakarta, kura-kura berwarna kuning keputihan adalah jenis satwa yang langka, dan perlu dilindungi. Keanehan ciri-ciri fisik kura-kura tersebut, oleh masyarakat sekitar dianggap binatang yang gaib dan suci. Pada awalnya, di dalam Sendhang Seliran puteri tersebut dipelihara tiga ekor bulus (kura-kura) putih besar-besar. Mereka diberi nama Kiai Dhudha, Kiai Jaka, dan Mbok Rara Kuning. Ketiga kura-kura tersebut sekarang sudah mati. Namun, untuk mengabadikan keberadaan Kiai Dhudha, dibuatlah patung Kiai Dhudha di timur laut Sendhang Seliran kakung.
Berbeda dengan Sendhang Seliran puteri, di Sendhang Seliran kakung binatang yang dikeramatkan adalah ikan lele putih. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan Kiai Reges. Menurut cerita, keistimewaan Lele Reges ini adalah tidak berdaging namun masih hidup. Dikisahkan, ketika Sunan Kalijaga mengunjungi Panembahan Senapati, ia dijamu dengan lauk ikan lele. Ikan lele tersebut terasa enak, sehingga Sunan Kalijaga habis seekor. Ketika ditanyakan kepada Panembahan Senapati, bagaimana mengolahnya sehingga lele tersebut terasa enak. Dijawab oleh Panembahan Senapati, bahwa lele tersebut dimasak urip-urip (dimasak dalam keadaan lele masih hidup). Sunan Kalijaga terkejut, dan berkata, “Apa, urip-urip?” Karena kesaktiannya, maka ikan lele yang tinggal kepala dan tulang itu benar-benar menjadi hidup kembali. Oleh Sunan Kalijaga, lele tersebut dilepaskan di Sendhang Seliran, dan diberi nama Lele Reges, yang berarti lele yang hanya terdiri atas kepala dan tulang saja.
Kini, di Sendhang Seliran kakung masih bisa kita jumpai banyak ikan lele besar yang berada di sana. Namun, apakah ikan lele putih itu keturunan Kiai Reges atau bukan, para peziarah agaknya tak terlalu peduli. Di Kompleks Sendhang Seliran, kini sering dilangsungkan upacara adat tradisional, seperti nyadran, kuthomoro, nawu sendhang, atau suronan mubeng beteng. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)
jika benar mitosnya bahwa ikan lele putih itu adalah jelmaan dari kyai reges, melalui waliyullah Kanjeng Sunan Kalijaga, dengan izin Allah ikan tsb masih hidup sampai sekarang. Dan saya saksi hidup bahwa ikan lele tersebut benar adanya, karna saya menyaksikan sendiri ikan itu pelan2 menghampiri saya seolah tersenyum menyambut kedatangan saya dan menyentuh tangan saya ketika saya mengambil air di kolam/bak Sendhang Seliran tersebut sekedar utk cuci muka. Penampakannya bersih, ukurannya cukup besar dan panjang. Hanya saja ikan ini pemalu, tidak bisa lama2 melihatnya.
ReplyDelete