Sunday, September 18, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG SELOKRAMAN

KAMPUNG SELOKRAMAN berada sekitar 200 meter di sebelah tenggara Pasar Kotagede. Ada banyak pendapat tentang arti nama Selokraman ini. Akan tetapi, hampir semua orang sepakat nama ini berasal dari kata selokromo. Selokromo terdiri dari kata selo dan kromo. Selo berarti batu dan kromo artinya berjodoh. Pendekatan ini mengacu pada batu pipisan yang terdiri dari batu landasan dan batu pipisan, orang Kotagede menyebut watu gandhik. Konon, dahulu ada sepasang batu pipisan yang dikeramatkan di kampung ini. Batu gandhik tersebut dipercaya mempunyai tuah mampu menyembuhkan penyakit. Banyak orang luar Kotagede datang untuk berobat dengan menggunakan khasiat batu gandhik tersebut. Kabar terakhir mengatakan, batu gandhik tersebut sudah dimasukkan ke sumur oleh ahli warisnya.
            Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa Selokromo itu adalah nama seorang tokoh yang disegani yang pernah tinggal di tempat ini. Sayang, tak ada catatan akademik ataupun cerita tutur yang bisa mengungkapkan, siapakah sosok Selokromo tersebut.
            Dari Kampung Selokraman, masyarakat juga mengenal sosok Mbah Mangil, yaitu sesepuh kampung tempat orang bertanya segala hal tentang kehilangan barang. Semua tamu pengunjung rumah Mbah Mangil, jika pulang selalu membawa barang berupa garam untuk syarat penemuan barang yang hilang.
            KAMPUNG SELOKRAMAN ternyata juga merupakan salah satu pusat gerakan sosial keagamaan dan kemasyarakatan di Kotagede. Dari kampung ini lahirlah tokoh-tokoh yang mampu berbicara di pentas nasional dan internasional, seperti Prof. KH Abdul Kahar Muzakhir, seorang founding father bangsa Indonesia, penanda tangan Piagam Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Beliau juga merupakan perintis berdirinya Universitas Islam Indonesia (UII), dan dipercaya menjabat sebagai rektor yang pertama. Nama beliau pun abadikan untuk nama jalan di utara Kampus UII Cik Ditiro dan nama Auditorium Utama di Kampus UII Jalan  Kaliurang, Yogyakarta.
            Kebesaran orang itu terletak pada kebersahajaannya. Begitulah yang tercermin pada sosok Prof. KH Abdul Kahar Muzakhir. Kalau berangkat ke Kampus UII, Pak Kahar, begitu ia biasa disebut, selalu naik andong dari pojok Pasar Kotagede dengan membawa payung, yang ketika hari cerah juga berfungsi sebagai teken (tongkat). Sepulang dari kampus UII, beliau tak jarang menyempatkan diri membeli gorengan di warung Mbok Joyo di pinggir Pasar Kotagede. Gorengan tersebut kadang-kadang dihidangkan untuk menjamu tamu-tamu penting yang kadang berkunjung ke rumahnya. Tamu yang sering singgah di rumah Pak Kahar di antaranya adalah Perdana Menteri Indonesia ke 6 (periode 1951-1952), DR. Soekiman Wirjosandjojo. Begitu bersahajanya, beliau ini kadang hanya mengenakan sarung dan kaos oblong kalau berada di rumah Pak Kahar. Kehidupan bersahaja seperti inilah yang sekarang sulit kita temui dari para pemimpin negeri ini.
            Selain Pak Kahar, di KAMPUNG SELOKRAMAN juga pernah lahir tokoh Kyai Amir. Beliau adalah pendiri Syarikatul Mubtadi, yaitu organisasi keagamaan lokal yang di kemudian hari ketika Muhammadiyah di Kauman mulai menyebar, para aktivis Syarikatul Mubtadi beralih aktif ke Muhammadiyah sebagai basis perjuangannya. Kyai Amir bersama beberapa temannya menggagas berdirinya Masjid Perak di Prenggan Kotagede. Hal ini disebabkan karena praktik keagamaan di Masjid Gede Mataram tidak sesuai dengan prinsipnya. Contohnya, khotbah Jum’at di Masjid Gede Mataram disampaikan dalam bahasa Arab tetapi sangat terbatas tema hafalan materinya, cuma satu dua. Kyai Amir dan kawan-kawan menginginkan khotbah disampaikan dalam bahasa Jawa yang bisa dipahami masyarakat luas.
            Di kemudian hari, meskipun Kyai Amir mendukung gerakan Muhammadiyah di Kotagede, beliau juga mendirikan Yayasan Ma’had Islami yang bergerak di bidang pendidikan keagamaan dan umum. Ja’far Amir, adalah salah seorang anaknya yang banyak menulis buku pendidikan agama untuk pegangan di sekolah dasar. Sedangkan Wardan Amir, anaknya yang lain, mengembangkan industri rumahtangga marching band yang melayani lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi.
            KAMPUNG SELOKRAMAN juga melahirkan nama KH As’ad Humam, seorang pencetus metode Iqro’, yaitu cara belajar membaca Al-Quran bagi pemula secara sistematis, terdiri 6 jilid tipis, secara klasikal, ditekankan pada tajwid dan tartilnya. Metode Iqra’ lebih menekankan dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Santri Aktif). Kalau sudah tamat menguasai 6 jilid, santri sudah diperkenankan membaca Al-Quran. Metode tersebut menggantikan metode lama bagdadiyah yang dirasa lebih lama. Sekarang, metode Iqro’ banyak dipergunakan sebagai pegangan di berbagai tempat yang memiliki Taman Pendidikan Al-Quran di seluruh tanah air, bahkan hingga manca negara, di antaranya di Malaysia, Brunei Darussalam dan bahkan Arab Saudi sendiri.
            Di bidang kepeloporan, KAMPUNG SELOKRAMAN juga melahirkan nama Jawad Humam. Ketika di Kotagede masyarakat pengrajin imitasi baru mengenal sepuh emas dan perak, Jawad Humam mengenalkan alat chrom pernikel, yang mampu menggantikan usaha sepuh, dan di Kotagede sempat menjadi trend (1978), semua usaha jasa penyepuh beralih ke chrom pernikel.
            Tidak hanya sepuh chrom pernikel, Zahar Humam, kakak Jawad Humam, membawa teknik baru plepet perak dengan menggunakan silinder baja (1999). Semula, perajin perak di Kotagede menggunakan cara bakar dan tempa untuk menghasilkan lembaran perak. Dengan teknik plepet perak, cara lama kemudian ditinggalkan. Teknik plepet perak Zahar Humam ini tidak menimbulkan kebisingan suara prapen. Kelebihan lainnya, teknik plepet ini bisa menghasilkan lembaran perak secara cepat. Karena kelebihan-kelebihan teknik temuan Zahar Humam ini, banyak perajin perak Kotagede sekarang telah beralih ke teknik plepet perak. Kemudian Jumanuddin Humam, sudah 50 tahun lebih sebagai pengusaha kerajinan imitasi khusus hiasan pengantin tradisional, yang membuka kios di Pasar Beringhardjo, Yogyakarta. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

No comments:

Post a Comment