Thursday, August 25, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG TEGALGENDU



Di antara kampung-kampung di Kotagede, KAMPUNG TEGALGENDU adalah satu-satunya yang berada di barat Sungai Gajahwong. Asal mula nama Tegalgendu sendiri ada beberapa versi. Versi pertama berkaitan dengan kisah Kyai Ageng Mangir. Konon, ketika melewati kawasan ini yang masih berbentuk tegalan, hati Kyai Ageng Mangir ragu-ragu atau gendha-gendhu, ingin meneruskan menghadap Panembahan Senopati atau tidak. Versi lain mengatakan, nama Tegalgendu diambil karena di kampung ini dikenal sebagai kawasan orang kaya (wong mblegedhu). Namun, sampai kini belum ada kajian akademik yang meyakinkan dari mana asal mula nama Kampung Tegalgendhu yang sebenarnya.
            Yang kita tahu, di Kampung Tegalgendu ini dahulu pernah tinggal Ki Prawiro Suwarno Tembong, orang kalang yang terkenal dengan sebutan Raja Berlian dari Tanah Jawa. Kisah Ki Prawiro Suwarno Tembong, sampai kini masih sering diperbincangkan masyarakat Kotagede. Bukan hanya karena kekayaannya, kebiasaan-kebiasaan eksentriknya, namun juga tragedi perampokan yang telah menimpa dirinya.
            Perampokan pertama terjadi pada hari Rabu, beberapa hari sebelum aksi militer Belanda kedua tangal 19 Desember 1948. Perampokan pertama ini selain menimpa rumah Tembong, juga dialami keluarga Projodrono di Kampung Darakan. Pada siang hari, beberapa orang yang melumuri muka mereka dengan lumpur dan berpakaian sipil serta militer, tanpa ragu-ragu memasuki rumah kedua orang kalang tersebut. Para perampok itu membawa pergi harta korban tanpa mendapat perlawanan. Kedua korban itu melapor kepada komandan keamanan di Kotagede, sekaligus mengidentifikasi para perampoknya. Sayangnya, laporan itu tidak digubris.
            Keputusan untuk tidak menyelidiki perampokan itu akhirnya memicu perampokan kedua. Peristiwa perampokan yang lebih besar ini terjadi beberapa hari setelah kota Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Perampok dalam jumlah besar itu hanya menjarah rumah Tembong. Selain membawa pergi uang dan perhiasan dalam jumlah yang amat banyak, para perampok juga membawa pergi tidak kurang dari 15 batang emas murni sebesar kaleng minyak tanah, dekorasi berbentuk sepasang gula jawa terbuat dari emas murni, setandan pisang terbuat dari emas murni, dan berusaha membunuh Tembong, namun gagal. Para perampok dengan mudah menghilang melalui Sungai Gajahwong, dan meninggalkan safety box sepanjang tepi sungai.
            Segera setelah perang usai, sebagian penduduk Kotagede secara tiba-tiba menjadi sangat kaya dan berperilaku aneh. Salah seorang dari keluarga miskin yang dicurigai sebagai istri perampok, tanpa malu-malu memakai suweng atau subang berlian ketika menghadiri hajatan pengantin. Salah seorang yang lain yang juga dicurigai ikut merampok, memiliki kebiasaan baru yang aneh, yaitu memakan enam telur goreng sekali makan. Ditengah situasi mahal sandang dan pangan, nggadho endhog (makan telur bukan sebagai lauk makan nasi), terlebih lagi enam sekaligus, adalah perilaku boros yang melebihi batas.
            Sementara itu, sebagian penduduk Kotagede yang lain mulai membuka usaha kerajinan yang memerlukan modal besar. Padahal, sebelumnya mereka hanyalah buruh dan petani dengan kemampuan ekonomi rendah. Tidak mengherankan jika ada yang berpendapat, bahwa sebagian interpreuner yang berhasil di Kotagede sekarang memulai bisnis mereka dari harta benda yang dirampok dari keluarga Tembong di Tegalgendu. Meski sudah berganti pemilik, kini sisa-sisa kejayaan keluarga Kalang di Kotagede masih bisa terlacak di kampung ini.  (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)








Toponim Kotagede Kleco

Kleco adalah nama sebuah tempat yang terletak di timur Lapangan Karang. Tempat ini dinamakan Kleco karena dahulu terdapat pohon kleco yang menjadi penanda kawasan setempat. Saat ini, sebagian besar wilayahnya ditempati dan diabadikan sebagai bangunan SD Muhammadiyah Kleco dan TK ABA Kleco. Sebagai penanda toponim, kini sebuah pohon kleco ditanam kembali di halaman sekolah tersebut.
            SD Muhammadiyah Kleco, dulu dianggap sebagai sekolahan favorit. Banyak orangtua mempercayakan anaknya disekolahkan di sini. Ketika belum banyak lembaga pendidikan tersebar secara merata, banyak anak-anak SD Muhammadiyah Kleco berasal dari daerah lain, seperti Karangturi, Pilahan, Depokan, Joyopranan, dan Mantup. Serta yang membanggakan, banyak alumni SD Muhammadiyah Kleco menjadi orang yang populer di masyarakat, baik tingkat lokal maupun internasional. Di antaranya adalah Darwis Khudori, Ahmad Charris Zubair, dan Abdul Muhaimin.
            Bangunan SD Muhammadiyah Kleco termasuk bangunan cagar budaya, terutama pada bentuk facade bangunan kuncungan di tengah. Ketika SD Kleco dibangun, kuncungan dipindah sebagai pintu gerbang utama dan penanda pusaka. Sementara, di bekas kuncungan, dibangun bentuk baru dengan mengambil corak lama yang telah mengalami pengolahan konsep. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede, 2011)

Wednesday, August 24, 2011

Toponim Kotagede Kanthil

Kawasan Kanthil berada sekitar 230 meter di barat laut Pasar Kotagede. Persisnya di RT 49, RW 10 Kampung Trunojayan. Nama Kanthil diambil dari nama pohon kanthil (Michelia champaka) yang pernah tumbuh di sana. Pohon kanthil ini tumbuh besar, sehingga banyak dikeramatkan orang. Di dekat pohon kanthil, ada sebuah lumpang dari batu hitam. Sama seperti pohon kanthil, lumpang itu pun dikeramatkan warga. Ada yang percaya, orang yang kakinya lumpuh jika dimandikan di lumpang tersebut bakalan bisa sembuh.

    Pemilik Rumah Kanthil adalah Karto Jalal, atau sebagian warga lebih mengenalnya dengan Karto Kanthil. Ia adalah seorang saudagar kaya di Kotagede. Usaha yang digelutinya adalah batik. Ketika batik Kotagede mengalami masa keemasan di tahun 1940-1960, Karto Kanthil pun mendulang untung. Kala itu, harga jarik amat mahal. Orang rela menukarkan tanahnya yang seluas ratusan meter dengan dua atau tiga potong kain jarik. Tak heran, rumah dan tanah Karto Kanthil pun terserak di segala pelosok Kotagede.

    Kalau Karto Kanthil mempunyai hajatan menikahkan anaknya, pestanya tujuh hari tujuh malam. Pengantinnya diarak keliling Pasar Kotagede. Pengantin laki-lakinya mengendarai kuda. Pengantin perempuannya naik tandu hias yang dipikul empat orang lelaki. Keluarga yang lain mengendarai kereta kuda hias. Sedangkan anak-anak yang mengiringi naik kremun (tandu kecil), di belakangnya barisan umbul-umbul, rontek bertugas sebagai pramuladi pun pria-pria pilihan, gagah-gagah berkulit kuning langsat. Pemuda-pemuda itu diambil dari kampung-kampung di Kotagede yang tergabung dalam paguyuban Susilo Mudho.

    Setelah tahun 1960, usaha batik di Kotagede surut drastis, termasuk juga usaha milik Karto Kanthil. Beberapa puluh tahun kemudian, tanah-tanah Karto Kanthil satu demi satu dijual oleh ahli warisnya. Malah, untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, tak jarang ahli waris menjual murah barang-barang yang masih tersisa, seperti tempat tidur besi, tanggem, daun jendela, dandang, soblok, almari, dan aneka barang remeh temeh lainnya.

    Di tahun 1990 an, salah seorang menantu Karto Kantil pernah mengeluh, bahwa beberapa tanah miliknya telah dipakai oleh pemerintah tanpa seijin dirinya. Malah, di tanah yang menurut menantu tersebut adalah miliknya, telah didirikan bangunan gedung kantor pemerintah. Salah satunya adalah Balai Diklat PU di timur jembatan Winong, Kotagede. Menantu Karto Kantil tersebut mengaku pernah mengurusnya, namun karena tiadanya bukti legal formal tertulis, sang menantu tersebut akhirnya kalah.

    Sebagai ruang publik, tak banyak jejak yang bisa dilacak dari pendapa Kanthil. Selain pernah menjadi tempat ibadah sholat tarawih pengajian anak-anak Komariyah Masjid Perak, pendapa Kanthil jarang sekali dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

    Nasib tragis pendapa Kanthil punya kisah tersendiri. Waktu itu di tahun 1990-an, seorang menantu dari Karto Kanthil sedang punya hajat menjual pohon mangga. Karena tukang tebangnya kurang perhitungan, ranting besar pohon itu menimpa pendapa Kanthil yang ada di dekatnya. Akibatnya, pendapa Kanthil pun miring. Karena tidak punya biaya untuk mengembalikan pendapa seperti semula, pendapa Kanthil itu dibiarkan miring dalam waktu yang lama. Keadaan ini diterkam makelar pendapa. Benar saja. Tak sampai hitungan tahun, pendapa Kanthil pun tercerabut dari tempatnya.

    Kini, kawasan Kanthil telah sangat berubah. Rumah tanpa induk semang itu sedang menunggu kehancurannya. Kelabang, cacing, kalajengking, dan dhemit kini tinggal di sana. Karena dikenal angker, Rumah Kanthil pun pernah dipakai sebagai lokasi pengambilan gambar acara “Dunia Lain”, yang ditayangkan oleh sebuah televisi swasta nasional. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE SITUS BOKONG SEMAR

SITUS BOKONG SEMAR berada sekitar 600 meter di selatan Pasar Kotagede. Istilah bokong Semar diberikan oleh warga setempat karena bentuk struktur benteng yang melengkung tersebut seperti bokong (pantat) Semar. Denah cepuri memang tidak berbentuk persegi, selain bentuk bokong  Semar, pada sisi utara struktur benteng tidak lurus arah timur barat, tetapi agak menjorok keluar di bagian tengah.

    Denah semacam ini oleh penduduk dikaitkan dengan bentuk tokoh Semar yang secara filosofis dikaitkan dengan kebijaksanaan raja dalam memberi perlindungan dan ketentraman bagi rakyatnya. Menurut penuturan penduduk setempat, di selatan Bokong Semar arah jagang, dipercaya sebagian orang terdapat telaga mistis. Telaga tersebut digunakan sebagai tempat memandikan gajah milik keraton. Namun, hanya orang-orang tertentu dengan laku spiritual kuat saja yang mampu melihatnya.
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG BOHAREN

KAMPUNG  BOHAREN terletak sekitar 200 meter di timur Pasar Kotagede. Kampung ini berbatasan dengan Kampung Selokraman di sebelah selatan, dan dengan Kampung Dolahan di sebelah utara. Nama Boharen sendiri dipakai karena di kampung ini pernah tinggal Kyai Bukhari, seorang alim ulama yang khusus mengkaji hadis-hadis Bukhari bersama murid-muridnya. Karena ditempati dan diisi aktivitas oleh Kyai Bukhari, kampung tersebut dikenal masyarakat sebagai Bukharian. Ada upaya memudahkan pengucapan dari Bukharian, lalu Bukharen, kemudian masyarakat menyederhanakan penyebutannya menjadi Boharen.

    Tahun 1950 an, KAMPUNG BOHAREN juga dikenal dengan pohon jambu air berwarna putih. Pohon jambu tersebut tumbuh di halaman rumah-rumah para penduduk. Dahulu, banyak orang dari luar Kampung Boharen meminta jambu air tersebut. Mereka menyebutnya Jambu mBaren, karena berasal dari KAMPUNG BOHAREN. Jambu mBaren dipercaya masyarakat memiliki khasiat sebagai obat penyembuh. Orang sakit batuk, pilek, masuk angin maupun penyakit sepele lainnya, mampu disembuhkan dengan makan Jambu mBaren. Menurut penuturan orang tua dahulu, pohon jambu mBaren yang masih kecil memerlukan perawatan khusus, yaitu harus sering disirami dengan satu bathok jamu parem.
   
    Di KAMPUNG BOHAREN juga bisa dijumpai satu di antara dua langgar dhuwur yang masih ada di Kotagede. Langgar dhuwur tersebut dibangun di masa saudagar Muksin bin Mukmin, pemilik rumah tersebut. Karena waktu itu baru ada satu tempat ibadah di Kotagede yaitu Masjid Gede Mataram Kotagede, sehingga untuk melakukan shalat sunat yang sifatnya pribadi, sebuah keluarga perlu membangun tempat shalat, kali ini berupa langgar dhuwur. Di bawah langgar dhuwur sering dimanfaatkan masyarakat untuk berjualan aneka penganan. Letaknya sangat strategis. Anak-anak suka jajan minuman rujak ceplus dan pecel bombrong di tempat tersebut.

    Di tahun 2010, di kampung ini, tepatnya di Langgar Dhuwur tempat kediaman  Achmad Charris Zubair, juga menjadi salah satu lokasi pengambilan gambar film “Sang Pencerah”, arahan sutradara muda Hanung Bramantyo. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE DALEM SOPINGEN

DALEM SOPINGEN berada di barat laut Pasar Kotagede. Sopingen adalah rumah kediaman Raden Amatdalem Sopingi. Bersama Raden Amatdalem Mustahal, Raden Amatdalem Sopingi menjabat sebagai kepala lurah juru kunci makam di bawah Kasultanan Yogyakarta. Sebagai seorang abdi dalem pada masa itu, Raden Amatdalem Sopingi menyiapkan rumahnya, juga berfungsi sebagai tempat singgah, berkumpul, dan beristirahat bagi pejabat kerajaan yang akan berziarah di Makam Raja-raja Mataram di Kotagede.
Meski pendopo Sopingen sebenarnya milik privat, di era 1900-1980 pendopo Sopingen pernah menjadi pusat ruang publik egaliter di Kotagede. Tak hanya denyut kesenian, gelegak politik pun pernah terjadi di Sopingen.
Pada masa Kebangkitan Nasional di tahun 1908, pendopo Sopingen merupakan tempat rapat propaganda organisasi Pergerakan Nasional. Di sana, pernah datang dan berpidato tokoh-tokoh seperti HOS Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam), Samanhoedi (Pendiri Sarekat Islam), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Ki Hajar Dewantoro (Pemimpin Perguruan Tamansiswa). Bahkan pimpinan komunis seperti Samaun, Muso dan Alimin pun pernah hadir dan berpidato di Sopingen.
Hingga pertengahan tahun 1920, tidak mustahil dua organisasi (PKI dan Muhammadiyah) dipilih oleh orang-orang Kotagede dari sekian banyak aneka gerakan Kebangkitan Nasional. Selanjutnya bisa dibayangkan, di Kotagede PKI dan Muhammadiyah bagaikan dua ayam jago dalam satu kandang.
Tumbuhnya pertentangan antara keduanya selama awal 1920 an, yang menjadi masalah pertentangan besar antara Muhammadiyah dan PKI adalah murni ‘politik’ dan ‘agama’, sejauh menyangkut kawasan lokal Kotagede.
Pertentangan keduanya secara dramatis terungkapkan dalam insiden perselisihan bersamaan dengan kongres PKI yang diadakan di Dalem Sopingen Kotagede tahun 1924. PKI keliru memilih tempat di Kotagede yang disangka aman untuk melakukan propaganda terbuka.
Propaganda tersebut merupakan bagian kegiatan dari kongres. Semula PKI berkongres di kota Yogyakarta, tetapi di kota Yogyakarta keamanan kurang terjamin, disebabkan kuatnya pengaruh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Hal itu terlihat ketika rapat propaganda terbuka, propagandais-propagandais komunis disoraki supaya turun. PKI terpaksa memboyong tempat kongresnya ke Kotagede.
Ternyata, di Kotagede malah lebih gawat lagi. Insiden terjadi ketika PKI mencoba mengadakan rapat umum propaganda 14 Desember 1924. Banyak aktivis Muhammadiyah yang hadir. Mereka merencanakan menghalangi rapat, mengingat dalam rapat umum tersebut banyak orang Islam awam yang hadir di sana.
Aktivis-aktivis Muhammadiyah menghendaki agar orang-orang Islam keluar meninggalkan tempat, jangan mendukung PKI. Muncul sedikit ketegangan antara keduanya, tetapi akhirnya aktivis-aktivis Muhammadiyah gagal menghalangi jalannya rapat.
Di tahun 1962-1964, di pendopo Dalem Sopingen Kotagede sering diselenggarakan latihan tari-tarian dan pementasan yang dilakukan oleh LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Ini merupakan salah satu unsur gerakan PKI yang memanfaatkan media kesenian tradisional untuk propaganda. Dalam pementasan tari tersebut muncul garapan tari-tarian rakyat yang bersifat perlawanan. Diantaranya Tari Buruh, Tari Tani, Tari Bagi Hasil, Tari Anjangsana, dan Tari Blonjo Wurung. Kalau pas latihan Tari Bondan, penari wanita ngemban boneka anak, berpayung dan siap menaiki kendi. Penari wanita tersebut selalu menanyai anaknya yang berupa boneka, “Suk gede arep dadi opo, nduk?” Didukung koor para pengrawit, penonton serentak menjawab, “Dadi Gerwani!”
Di tahun 1960-1970 an, gerakan Muhammadiyah, juga ortom-ortomnya banyak menggelar acara pentas seni di pendopo Sopingen. Setiapkali pentas seni, tidak lupa selalu menyisipkan demontrasi olahraga pencaksilat Senopati Pemuda Muhammadiyah Kotagede. Baik permainan jurus maupun pertarungan, dan selalu digairahkan oleh komentator yang mengomentari jurus-jurus yang berseliweran.
Di pendopo Dalem Sopingen juga pernah digunakan untuk pentas-pentas drama lokal Kotagede.Diantaranya pentas Teater Iqbal PII Kotagede. Pernah juga Teater Alam Azwar AN pentas di pendopo Sopingen ini. Lakon yang dimainkan adalah Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek karya Danarto. Partai Nasionalis Indonesia juga pernah mementaskan tari-tarian Bagong Kusudihardjo sepulangnya dari Amerika. Serta pada kesempatan yang lain, pentas tari dari kelompoknya Wisnu Wardhana juga tampil di pendopo ini.
Di bidang olahraga, di halaman depan pendopo Dalem Sopingen ada lapangan bulutangkis. Pada malam-malam tertentu, lapangan tersebut sering digunakan untuk net play, begitu masyarakat Kotagede dahulu menyebut kata night play, yaitu latihan bulutangkis di malam hari. Dan sebagai penanda adanya night play itu, selalu ada orang yang memikul lampu strongking, yang dimaksud adalah lampu tekan dengan merk Strongking. Lampu-lampu itu dipikul dari tempat persewaannya di Kampung Bumen, melintas di depan Pasar Kotagede menuju Sopingen. Jalan-jalan yang dilewati akan menyala benderang dan terdengat desis gas yang terbakar dari mesin petromaks. Dan selalu saja orang-orang yang nongkrong di depan Pasar Kotagede akan berkomentar, “Wah, mesthi ono net play neng Sopingen.”
Dengan nomer persil 314, luas tanah 2096,75 m2 dan bangunan sekitar 1800 m2, sejak tahun 1984 Sopingen telah diwariskan kepada ketiga anak keturunan Raden Amatdalem Sopingi. Masing-masing menempati bagian samping bangunan. Sedangkan bagian tengah tetap difungsikan sebagai fasilitas publik. Sayang sekali, sejak tahun 1990 an, pendopo Sopingen itu dijual, menyusul pendopo Mustahalan yang sudah lebih dulu lenyap dari Kotagede.
Karena fungsinya di masa lalu cukup penting, Dalem Sopingen mampu membentuk toponim lokal, meski terbatas. Sejak pendopo tersebut dijual pemiliknya, Sopingen telah kehilangan aura.
Kini, sebagai ruang publik Sopingen tidak berdaya, tidak mampu mengenang masa lalunya, tidak sempat mencatat peristiwa-peristiwa heroik yang pernah dialaminya. Bahkan, tidak mampu membela dirinya sendiri dari tikaman zaman. 
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Tuesday, August 23, 2011

TOPONIM KOTAGEDE MAKAM KERAMAT KI AGENG KARANG LO

Dusun Karang Turi berada sekitar 1200 meter di sebelah timur Pasar Kotagede, tepatnya di sebelah luar jalan lingkar timur. Secara administratif, Karang Turi masuk wilayah Kecamatan Banguntapan, Bantul. Nama Karangturi bisa jadi karena di tempat  ini dahulu banyak tumbuh pohon turi. Dusun Karang Turi tampaknya sudah ada sejak zaman Mataram dipimpin oleh Panembahan Senopati. Dari keterikatan historis, Dusun Karang Turi amat penting, karena di dusun inilah Ki Ageng Karang Lo dan Ratu Pembayun dimakamkan.
        
    Siapakah Ki Ageng Karang Lo, ia adalah tokoh pada zaman kerajaan Mataram ketika Mataram sedang dalam proses pembentukannya. Ia terkenal sebagai sahabat dekat Ki Ageng Pemanahan, yang mendampingi dan membantu terbentuknya Keraton Mataram dengan ibukota di Kotagede.

    Dikisahkan, pada waktu itu, Ki Ageng Karang Lo yang tinggal di Kampung Taji, timur Prambanan, suatu hari kedatangan tamu yang singgah di rumahnya. Tamu tersebut adalah Ki Ageng Pemanahan beserta keluarganya yang sedang dalam perjalanan menuju Mentaok, yaitu tempat yang dihadiahkan Sultan Pajang kepada dirinya.

    Ki Ageng Karang Lo menjamu keluarga Ki Ageng Pemanahan dengan hidangan yang amat memuaskan. Setelah dirasa cukup, Ki Ageng Pemanahan pun berpamitan untuk meneruskan perjalanan ke Mentaok.  Pada saat itu, Ki Ageng Karang Lo berniat untuk ikut serta bersama keluarga Ki Ageng Pemanahan ke Mentaok. Ki Ageng Pemanahan pun menerimanya dengan senang hati.

    Tanah Mentaok ternyata masih jauh. Ketika sampai di Sungai Opak, mereka bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sebagai seorang wali, ia memberi nasehat kepada Ki Ageng Pemanahan sehubungan dengan Tanah Mentaok, dan tentang Ki Ageng Karang Lo. Nasehat itu adalah, agar Ki Ageng Pemanahan tetap mempererat persahabatan dengan Ki Ageng Karang Lo. Nasehat lainnya, agar Ki Ageng Pemanahan selalu ikut mengenyam kebahagiaan bersama Ki Ageng Karang Lo.

    Nasehat Sunan Kalijaga tersebut tersimpan dalam hati Ki Ageng Pemanahan hingga ia membuka hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Konon, nama Mataram sendiri diambil dari kata ‘mentaok arum’ yang berarti mentaok yang harum. Kata ‘mentaok arum’ ini mengalami peluruhan menjadi ‘mentarum’. Untuk memudahkan pengucapan, lama kelamaan  kata ‘mentarum’ berubah menjadi Mataram. Ki Ageng Pemanahan melanjutkan nasehat Sunan Kalijaga kepada puteranya, Panembahan Senapati yang kemudian menjadi Raja Mataram.

    Sebagai raja yang bijaksana, Panembahan Senapati melaksanakan nasehat ayahnya. Kala itu, Ki Ageng Karang Lo bertempat tinggal di Wiyara, dusun yang berada sekitar satu setengah kilometer di timur laut Pasar Kotagede. Puteri Panembahan Senapati, yaitu Ratu Pembayun, dirawat dan amat disayang oleh Ki Ageng Karang Lo. Ratu Pembayun tumbuh menjadi puteri yang cantik.

    Ketika menginjak dewasa, Ratu Pembayun melaksanakan tugas ayahnya untuk memperdaya Ki Ageng Mangir Wanabaya, musuh bebuyutan Mataram. Pembayun menyamar sebagai ledhek, penari yang hidup di tengah masyarakat. Akhirnya Pembayun dan Ki Ageng Mangir bertemu. Keduanya saling jatuh cinta dan menikah. Dalam keadaan hamil, Pembayun diantar baik-baik oleh sang suami untuk menghadap Panembahan Senapati.

    Namun, dalam sebuah pertemuan keluarga, Panembahan Senapati menje­bak dan membunuh Ki Ageng Mangir, musuh sekaligus menantunya. Ketika hendak sungkem (menyembah), kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan ke watu gilang oleh Panembahan Senapati. Peristiwa dramatik ini terjadi di depan mata Pembayun yang sedang mengandung janin Ki Ageng Mangir. Demi memperkokoh sistem politik ekspansi Mataram, kebahagiaan Ratu Pembayun dan masa depan janin yang dikandungnya, terpaksa harus disisihkan.

    Kematian Ki Ageng Mangir membuat Ratu Pembayun sangat berduka. Melihat perkembangan keadaan puterinya, Panembahan Senapati tidak tega. Untuk sedikit mengobati kesedihan Pembayun, Panembahan Senapati lalu menikahkan puterinya dengan Ki Ageng Karang Lo. Hal ini dijalankan untuk memenuhi pesan Sunan Kalijaga agar keluarga Ki Ageng Pemanahan selalu membawa Ki Ageng Karang Lo dalam setiap kebahagiaan mereka. Ratu Pembayun dan Ki Ageng Karang Lo hidup bersama, hingga meninggal dunia. Mereka dimakamkan di Dusun Karang Turi. Saat ini, makam Ki Ageng Karang Lo dan Ratu Pembayun termasuk dalam kategori tempat-tempat keramat bersejarah. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE MAKAM NYAI MELATI

MAKAM NYAI MELATI terletak sekitar 600 meter di selatan Pasar Kotagede, persisnya di bantaran antara benteng cepuri dan jagang bekas kraton Mataram Kotagede, di selatan Kampung Dalem. Berdasarkan kisah tutur, Nyai Melati semasa hidup mengabdikan diri di Keraton Mataram Kotagede. Ia bertugas sebagai abdi dalem tebah, abdi dalem yang mendapat kepercayaan nebahi peraduan raja. Nebahi artinya membersihkan dan mengatur. Ketika wafat, ia dimakamkan di pinggir benteng cepuri bersama masyarakat lainnya.    
   
    MAKAM NYAI MELATI pernah menjadi fenomena di Kotagede sekitar tahun 1978-1998. Waktu itu aneka jenis judi buntut mewabah di penjuru Indonesia, termasuk di Kotagede. Orang-orang berburu nomor tebakan yang bakal keluar dengan segala cara, termasuk cara-cara yang tidak masuk akal. Judi tersebut disebut nomor buntut, karena yang dibeli cuma kupon nomor 3 atau 2 digit belakang dari 7 nomor kupon undian yang lengkap dan resmi.

    Fenomena MAKAM NYAI MELATI dan nomor buntut tentu ada yang mengawali. Menurut cerita yang berkembang, suatu hari ada orang yang iseng  menggosok batu nisan makam Nyai Melati dengan minyak cap Srimpi. Sambil mempersembahkan kembang dan membakar kemenyan, tiba-tiba muncul angka-angka yang tidak jelas, yang harus dipecahkan lagi. Selesai menganalisa nomor yang diperoleh, ia pun membeli kupon undian. Ternyata nomor undiannya keluar. Bukan main girangnya orang tersebut. Ia pun mengabarkannya ke orang-orang tentang kesaktian MAKAM NYAI MELATI.

    Masyarakat penggemar judi buntut pun memperoleh tempat baru yang ampuh untuk berburu wangsit nomor. Setiap malam, mereka berbondong-bondong menggosok batu nisan MAKAM NYAI MELATI, sambil membawa perlengkapan seperti yang dilakukan perintisnya dahulu. Lilin, minyak srimpi, kembang, dan kemenyan adalah perlengkapan utama. Mereka datang bukan hanya dari Kotagede. Orang-orang dari berbagai tempat seperti Klaten, Magelang, Muntilan, Wates, dan banyak lagi lainnya berbondong-bondong berziarah berburu nomor buntut ke kubur Nyai Melati.
   
    Namun, ziarah nomor buntut itu lama-kelamaan surut. Mungkin karena tebakannya banyak yang meleset, mereka mulai meragukan keampuhan makam Nyai Melati. Mereka merasa, Nyai Melati mulai pelit dan tidak mengobral rezeki nomor buntut lagi. Mereka mulai mencari tempat wingit yang lebih ampuh lagi, dan membiarkan MAKAM NYAI MELATI membeku kedinginan. Di malam-malam seterusnya, Makam Nyai Melati pun akhirnya dilupakan orang.
   
    Pada paruh tahun 2000 an, Kompleks MAKAM NYAI MELATI yang teduh oleh rimbunnya pohon preh dan munggur, kalau siang hari menjadi ajang judi. Masyarakat Dalem merasa resah dengan maraknya lagi dunia judi di kampung mereka. Menurut pemikiran masyarakat, agar tempat tersebut tidak dijadikan arena judi, pohon-pohon peneduh itu yang mesti ditebang. Lalu, siapa yang sanggup dan berani melakukan. Muncullah Supardiyono, pengelola kesenian jathilan Taruna Bakti Tama dari Singosaren. Ia sanggup dan berani menebang pohon-pohon sarang dhemit tersebut. Cara tersebut berhasil mengusir para penjudi pergi, namun entah dengan dhemitnya. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG DARAKAN

Darakan adalah kampung yang berada sekitar 750 meter di barat laut Pasar Kotagede. Nama Darakan diambil dari nama Patih Mandaraka, yang besar kemungkinan pernah tinggal di sini.  Akan tetapi, tak ditemukan lagi bukti petilasan berkait tempat kediaman Patih Mandaraka. Yang ada sekarang hanyalah perkampungan biasa yang padat penduduknya.

    KAMPUNG DARAKAN bisa dikata kampungnya makanan tradisional. Wajar saja, karena di tahun 1950-1960 an, dari kampung ini banyak muncul tokoh legendaris pengolah makanan tradisional. Sebut saja Mbok Punjul. Menyebut nama Mbok Punjul, orang tentu takkan lupa dengan Karto Punjul, pelopor pengolah makanan tradisional bikan. Dinamai Karto Punjul karena ibu jari tangan Mbah Karto ini ada sedikit tonjolan, sehingga jarinya terkesan sedikit lebih atau punjul. Bikan Karto Punjul ini makanan favorit masyarakat Kotagede di tahun 1960-1970 an. Rasanya manis, dicetak dengan bentuk loyang bunder.

    Di KAMPUNG DARAKAN,  persisnya di Jalan Mondorakan yang dekat dengan kawasan Soka, dahulu banyak warung yang menjual makanan tradisional pilihan. Warung-warung tersebut berjejer dari timur ke barat. Selain Mbok Punjul yang membuka kios di sisi paling timur, ada lagi yang menjual penganan jenang (bubur) nangka dan jrangking.  Jenang nangka adalah bubur terbuat dari ketan, diolah menggunakan bumbu dasar buah nangka, santan, dan gula merah. Sedangkan jrangking terbuat dari ketan, rasanya gurih, dan bentuknya mirip jadah yang diiris tipis-tipis. Jrangking biasa dimakan setelah dibakar. Karena rasanya gurih, jrangking sering dipakai untuk sendok ketika memakan jenang nangka yang rasanya manis. Jrangking dan jenang nangka adalah paket makanan yang tak terpisahkan.

Namun, kekayaan makanan tradisional dari KAMPUNG DARAKAN ini satu demi satu tergilas zaman. Ketika meletus geger G-30-S, dampaknya pun menular ke Kotagede. Suasana mencekam membuat mereka takut, karena terjadi penangkap­an di mana-mana. Warung-warung makanan tradisional di Jalan Mandarakan pun terpaksa tutup. Setelah peristiwa geger tersebut, makanan jrangking tak pernah muncul lagi. Penganan bikan masih sempat bertahan. Hingga tahun 1980-an, produksi bikan masih diteruskan oleh Sosro Siti Aminah, menantu Karto Punjul. Namun, semenjak Sosro Siti Aminah meninggal, tak ada lagi yang menggantikannya. Akhirnya, bikan pun mengikuti jejak jrangking dan jenang nangka.

Untungnya, kini masih ada makanan kipa. Makanan tradisional dari kampung ini tetap bertahan, meski generasi telah berganti. Kipa dibuat dari bahan ketan, santan, garam, gula, dan pewarna daun pandan. Di dalamnya terdapat enten-enten (parutan kelapa dicampur gula jawa) dan dipanggang menggunakan lapisan daun pisang tanpa minyak.

    Keberadaan makanan kipa ini harus tetap dipertahankan. Di kampung lain selain KAMPUNG DARAKAN, agaknya mulai tumbuh sentra pengolah makanan kipa. Salah satunya adalah di Kampung Bodon. Namun kita tidak tahu, sampai kapan kipa mampu bertahan di tengah membanjirnya makanan buatan pabrik.

    Selain dicatat sebagai kampung makanan tradisional, KAMPUNG DARAKAN telah dipilih sebagai tempat peristirahatan terakhir tokoh besar kebanggaan warga Kotagede, yaitu Prof Dr HM Rasyidi. Di Makam Darakan Timur, mantan Menteri Agama RI yang pertama tersebut bersemayam dengan tenang, dipeluk bumi Darakan. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG BUMEN

KAMPUNG BUMEN berada sekitar 500 meter di timur laut Pasar Kotagede. Nama Bumen berasal dari kata Mangkubumen. Mangkubumen artinya tempat kediaman Mangkubumi, seorang pangeran yang masih saudara dengan Panembahan Senopati. Kemudian, kampung ini dikenal dan dipercaya masyarakat sebagai tempat kediaman Pangeran Mangkubumi. Akan tetapi, masyarakat kemudian lebih suka menyederhanakan penyebutannya menjadi Bumen saja.

    Dulu, ketika masyarakat Bumen belum maju, mereka masih mempergunakan pekarangan rumah untuk kakus-kakus (WC) yang ditutupi gedhek atau dinding anyaman bambu. Anak-anak sepulang sekolah setiap melintas Kampung Bumen, selalu mengolok-olok, “Bumen, mambu yo men” atau ”bau ya biarkan saja”.

    Di masa lalu (1960-an), KAMPUNG BUMEN juga dikenal sebagai sentra industri barang-barang perkakas dapur yang terbuat dari blek atau kaleng. Blek tersebut berasal dari kaleng bekas mentega dan kaleng minyak lainnya, termasuk besi janur bekas tali penguat tong-tong kontainer. Industri rumah tangga dari blek itu menghasilkan perkakas berupa ceret, kompor, alat pengiling (pemindah minyak dengan cara dipompa), lentera api, senthir minyak, torong, sorok sampah, talang air, tempat makan ayam, dan sebagainya. Aktivitas yang luar biasa dari perajin blek di Kampung ini menghasilkan limbah guntingan blek yang membukit.
   
    Ketika masih mengalami masa kejayaan, mereka membentuk koperasi yang bernama Koperasi Pengusaha Blek Kotagede (KPBK), yang bekerja di pengadaan barang bekas dan pemasaran bersama. Sektor ekonomi mikro ini cukup tangguh, mapan dan maju. Semacam ada korelasi, ketika ekonomi dasar masyarakat maju, olah kesenian juga maju. Sehingga ketika ada waktu luang, di malam hari dipergunakan oleh sebagian masyarakat Bumen untuk mengekspresikan diri secara komunal di bidang aktivitas kesenian. Di Kampung Bumen, berbagai kelompok kesenian maju, seperti ketoprak, karawitan, mocopat, srandul, dan sholawatan. Kesenian-kesenian tersebut sampai sekarang masih bertahan.

    Kesenian lama dari KAMPUNG BUMEN yang hilang adalah kebiasaan masyarakat Bumen mengarak sepasang gendruwo lanang wedhok dalam setiap acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Pada tahun 2010, ketika Yayasan Pondok Rakyat masuk ke Kampung Bumen dengan program “Srawung Kampung”, kebiasan ngarak sepasang gendruwo itu dibangkitkan lagi. Rutenya, dari Kampung Bumen mengitari Pasar Kotagede, lalu diteruskan kembali ke Kampung Bumen.

    KAMPUNG BUMEN juga merupakan sentra pengolahan roti kembang waru yang diolah secara tradisional. Pengolah roti kembang waru berhimpun dalam paguyuban koperasi yang bernama Purba Arum, beranggotakan 23 keluarga. Peralatan pengolah roti kembang waru, yaitu memanfaatkan sisa-sisa ketrampilan kejayaan industri rumahtangga blek yang cara membuatnya banyak mempergunakan teknik  sentuhan dengan patri nyuk.  Patri nyuk sendiri adalah teknik patri tradisional, biasanya menggunakan bekas besi tapal kuda yang telah diberi gagang lalu dibakar. Setelah besi tapal kuda tersebut  menyala merah, cukup disentuhkan pada bahan patri setelah terlebih dahulu dioleskan pada segumpal gondorukem. Fungsi gondorukem untuk mempercepat cairan patri merata pada proses penyambungan. Karena cara kerjanya disentuhkan sebentar, orang-orang menyebutnya patri nyuk. Perkakas pengolahan roti kembang waru banyak mempergunakan jasa patri nyuk, seperti alat oven, berbagai bentuk loyang persegi, dan cetakan kembang waru sendiri.
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE DUSUN SINGOSAREN

DUSUN SINGOSAREN berada sekitar 750 meter di selatan Pasar Kotagede. Nama dusun ini diambil dari nama putra Ki Ageng Pemanahan, yaitu Pangeran Singosari. Beliau masih saudara kandung Panembahan Senopati. Sayang sekali, jejak peninggalan tempat tinggal Pangeran Singosari tersebut sudah tidak terlacak lagi. Singosaren kemudian juga dipakai sebagai nama desa. Pemerintah desa setempat membagi Dusun Singosaren menjadi tiga wilayah, yaitu Singosaren Lor (masyarakat setempat juga menyebutnya Sarirejo 1), Singosaren Tengah (Sarirejo 2), dan Singosaren Kidul. Tambahan kata rejo adalah bermakna kemakmuran. Kemakmuran buat segenap warga Singosaren.

    Kawasan yang menarik di Singosaren yaitu adanya makam srati kuda, bernama Kiai Gamel. Siapakah Kiai Gamel ini. Menurut penuturan sesepuh setempat, Kiai Gamel adalah pekathik  kerajaan di zaman Keraton Mataram masih ada di Kotagede.

    Dahulu, setiap kali ada kuda yang binal, setelah dilintaskan pada jalan yang ada makam Kiai Gamel, kuda tersebut menjadi jinak. Makam Kiai Gamel tersebut kini berada di depan halaman sebuah rumah. Karena warga sekitar banyak yang takut ketika lewat di depannya, makam Kiai Gamel tersebut sengaja disamarkan dengan rimbunan taman. Menurut cerita warga setempat, di dekat makam tersebut dahulu kadang terdengar tapak kaki kuda yang tak ada wujudnya.

    Untuk menumbuhkan keramaian di Singosaren, dibangunlah sebuah pasar burung di sana. Konsep awalnya, untuk melayani wisatawan yang mempergunakan akses jalan lingkar selatan. Dari Pasar Singosaren, memicu tumbuhnya kawasan industri baru, seperti pabrik pengalengan udang, pabrik pakaian dalam wanita, pom bensin, garasi bus, dan penginapan. Warga Singosaren yang kebetulan dekat dengan kawasan industri pun akhirnya ikut kecipratan rezeki. Ada yang membuka warung makan, menyediakan kos-kosan, atau melayani jasa laundry.

    Di bidang kesenian, di Dusun Singosaren juga tumbuh subur berbagai macam kesenian. Di antaranya adalah kesenian karawitan, hadrah, panembrama, dan jathilan Taruna Bakti Tama. Sedangkan di bidang kuliner, Dusun Singosaren memiliki beberapa industri rumah tangga pengolah makanan tradisional, berupa yangko, emping, dan ukel. Ukel adalah makanan khas Kotagede yang rasanya manis dengan bentuk cincin. Dan di bidang kerajinan, di Dusun Singosaren berkembang beberapa perajin perak, tembaga, dan tas perca batik. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE SITUS MASJID MATARAM KOTAGEDE

SITUS MASJID MATARAM berada sekitar 200 meter di barat daya PASAR KOTAGEDE. Bangunan masjid ini merupakan salah satu bangunan tertua non candi yang ada di wilayah Yogyakarta. Bahwa masjid ini merupakan masjid kerajaan, yaitu ditandai dengan mustaka atau mahkota yang berciri khas masjid keprabon. Mustaka MASJID MATARAM terbuat dari tembaga, dan bagian dasar mustaka dikelilingi bentuk stilisasi daun-daunan maupun bunga-bungaan, di atasnya ada penunjuk kiblat, dan paling atas adalah tongkat gada bulat membesar di atas. Pada masa lalu mustaka masjid Jawa, begitu juga dengan MASJID MATARAM, mengambil contoh mustaka Masjid Agung Demak sebagai masjid kerajaan Islam pertama di Jawa.
    MASJID MATARAM berdiri dalam satu kompleks dengan Pasareyan Agung Kotagede, dan dikelilingi oleh tembok setinggi sekitar 2,5 meter. Ada dua pintu gerbang untuk memasuki Kompleks MASJID MATARAM ini, yakni gerbang utama untuk jamaah di sisi timur dan gerbang pelayanan untuk kaum kudus di sisi utara.
    Atap utama MASJID MATARAM adalah tajug tumpang dua, didukung oleh empat tiang utama saka guru dari kayu. Di dalam ruang utama terdapat sebuah mimbar yang berasal dari pemberian Sultan Palembang, anak keturunan Prabu Brawijaya V. Sedangkan kenthongan dan bedhug Kyai Dhondhong, diletakkan di serambi MASJID MATARAM.
    Di balik Masjid Mataram dimakamkan para leluhur KERAJAAN MATARAM. Dengan demikian, area ini memiliki nilai religius sekaligus spiritual sangat tinggi bagi Keraton Mataram. Masjid ini juga bisa menjadi bukti masuknya Islam ke masyarakat tradisional di pedalaman Jawa, yang pada waktu itu masih didominasi oleh kepercayaan asli dan Hindu. Kepercayaan asli muncul dalam penataan masjid yang menyatu dengan makam para tokoh. Dan karakter Hindu terlihat pada langgam rancangan pagar keliling dan gapura paduraksa. Unsur air yang mengelilingi tempat ibadah juga merupakan kelanjutan dari unsur Hindu.
    Dalam sejarahnya, pada masa Ki Ageng Pemanahan, awalnya MASJID MATARAM masih berupa langgar. Oleh Panembahan Senopati, bangunan langgar ini kemudian dipindahkan menjadi cungkup makam. Sedangkan di tempat tersebut didirikan bangunan masjid induk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1587, sebagaimana tertera pada kelir gapura masjid. Tahun 1587 adalah tahun keruntuhan Kerajaan Pajang dan pendirian KERAJAAN MATARAM. Dengan demikian, pendirian MASJID MATARAM tersebut menandai saat penobatan Senopati menjadi raja di KERATON MATARAM. Di masa Sultan Agung, MASJID MATARAM kemudian ditambahi bangunan berupa serambi.
    MASJID MATARAM telah mengalami berbagai perubahan dan penambahan. Pada tahun 1919, MASJID MATARAM pernah mengalami kebakaran besar. Empat tahun kemudian, perbaikan akibat kebakaran tersebut dapat diselesaikan. Gerakan Muhammadiyah di Kotagede pun memberikan andil besar terhadap peningkatan Masjid Mataram ini, yaitu diberikannya tambahan emperan pada serambi masjid. Selain itu, parit depan dan samping serambi ditutup, dan sebagai gantinya disiapkan tempat wudhu memakai kran. Atap sirap juga diganti dengan genteng. Terakhir, sebelum gempa bumi 27 Mei 2006 melanda Kotagede, Pemerintah Pusat melalui Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merenovasi besar-besaran Kompleks MASJID MATARAM ini.
    Kini, meski dipengaruhi unsur Hindu, namun jagang atau kolam air di sekeli­ling masjid dihidupkan kembali. Selain berfungsi menyucikan kaki jamaah, air yang mengelilingi emperan juga berperan menyejukkan ruangan. 
(EWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE SITUS PASAR KOTAGEDE

Para sejarawan memperkirakan, lokasi PASAR KOTAGEDE sekarang adalah sama dengan Pasar Gedhe di zaman MATARAM. PASAR KOTAGEDE adalah bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal. Empat wahana menjadi kesatuan tunggal. Terpisah tapi terhubung oleh koridor jalan-jalan. Pasar sebagai pusat perekonomian, Alun-alun sebagai pusat adat budaya masyarakat, Masjid sebagai pusat peribadatan, dan Keraton sebagai pusat kekuasaan.
    Ketika hendak mengembangkan sebuah kota, Sutawijaya dibimbing pamannya Ki Gede Pemanahan membuka hutan Mentaok. Kemudian, yang dibangun terlebih dahulu adalah sebuah pasar yang besar (pada waktu itu), sehingga pada mulanya kota itu dikenal dengan nama Pasar Gedhe, atau masyarakat luas menyebutnya, Sargedhe.
    Keputusan Sutawijaya untuk membuka pasar terlebih dahulu, dinilai sangat tepat. Sebab, pasar adalah jantung perekonomian. Dengan adanya pasar, perdagangan menjadi hidup. Geliat perdagangan hidup, kota menjadi ramai dan makmur. Ketika masyarakat mengembangkan diri bekerja di beragam profesi, profesi-profesi tersebut senantiasa dekat dengan pasar. Sehingga memunculkan toponim nama kampung berdasarkan profesi yang berkait dengan pasar. Sebagaimana Kampung Sayangan di barat pasar, Kampung Pandean di timur pasar, Kampung Samakan dan kawasan Payungan di selatan pasar.
    Jika mencermati dinamika sejarah PASAR KOTAGEDE, di sekitar tahun 1930 an, pernah ada beberapa orang dari etnis Tionghoa menetap dan ikut meramaikan dunia perdagangan di Kotagede. Misalnya di utara Babon Aniem, ada toko aneka peralatan dapur dan pakaian milik warga etnis Tionghoa. Pemiliknya dikenal dengan nama Bah Obral, karena sering menjual barang dengan cara diobral. Di  timur toko Bah Obral, ada juga warga etnis Tionghoa lain, ia berjualan gula batu. Sayang,  nama warga etnis Tionghoa tersebut tidak diketahui.
    Selain di utara PASAR KOTAGEDE, di timur pasar pun ada juga warga etnis Tionghoa yang ikut meramaikan dunia perdagangan di Kotagede. Masyarakat Kotagede mengenalnya sebagai Bah Obong. Disebut Bah Obong karena tokonya pernah kobong atau terbakar.
    Sebenarnya tak ada konflik sosial antara masyarakat asli dengan warga etnis Tionghoa yang berdagang di Kotagede. Namun, di tahun 1943 ketika Jepang masuk Kotagede, ada sekelompok orang yang memaksa Bah Obral meninggalkan tempat usahanya. Bah Obral tidak mau pergi. Sekelompok orang tersebut membuka paksa toko Bah Obral. Barang dan dagangan Bah Obral pun dibagikan gratis kepada masyarakat yang ada di pasar. Tak ada perlawanan dari Bah Obral. Namun, masyarakat yang diberi barang dagangan Bah Obral malah bingung, ada kejadian apa sebenarnya. Karena takut, sejak peristiwa itu Bah Obral pun tak lagi menetap di Kotagede.
    Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah Hindia Belanda membangun konstruksi besi khas pada los-los pasar yang seragam di pasar-pasar tradisional. Ketika itu belum ada satu kios pun.  Menjelang tahun 1960, baru berdiri kios di sebelah utara dan barat pasar Kotagede. Kawasan pasar Kotagede waktu itu masih dikelilingi pagar kawat berduri. Kemudian di dalam pasar ditumbuhi beberapa pohon waru besar. Dahulu, di dalam pasar ada warga pendatang dari luar Kotagede yang menetap di sana. Seperti pedagang arang, kayu bakar, maupun warung nasi dan wedang (minuman panas). Salah satu penghuninya yang legendaris bernama Sonto dan Beles. Beles, profesinya sebagai pembantu bandar judi kartu, yang tiap malam digelar di tengah pasar.
      Di PASAR KOTAGEDE, pasaran legi adalah aktivitas luberan pasar, kegiatan jual beli para pedagang berada di luar bangunan pasar. Di tengah jalan, di lorong-lorong kampung sekitar pasar. Aktivitas perdagangan jauh lebih besar di hari Legi ketimbang di hari lain. Pedagang dari tempat yang jauh seperti Piyungan, Imogiri, Terong, Dlingo atau Magelang banyak yang berjualan ketika hari pasaran legi saja.
    Pada pasaran legi, mata dagangan juga lebih lengkap. Bukan hanya keperluan sehari-har,i tapi juga peralatan pertanian dengan benihnya, burung berkicau lengkap dengan sangkarnya, unggas, ikan hias dan bahkan majalah dan komik. Ketika pasaran legi tiba, biasanya tampil juga tukang obat, tukang sulap, tukang ramal, tukang kerokan dan lain-lain.
    Kini, nama PASAR KOTAGEDE kadang membaur dengan PASAR LEGI. Sehingga PASAR KOTAGEDE kadang juga disebut sebagai PASAR LEGI atau disingkat Sarlegi. Nama PASAR LEGI pun sedikit demi sedikit menggantikan nama pasar yang sebenarnya. Bahkan, nama Pasar Legi akhirnya terpahat di atas gerbang pintu utama pasar. Nama PASAR LEGI ada baiknya dikembalikan ke nama semula, PASAR GEDHE atau PASAR KOTAGEDE.
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Wednesday, August 10, 2011

Berkarib dengan Sejarah Pahit

Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabad.
Jika sudah lebih separuh abad, janganlah dihancurkan.
(Ronggowarsito)

Setiap kota tentu punya kisah. Setiap kota pasti punya sejarah. Yogyakarta, kota yang kaya identitas ini pun demikian. Kita bisa membaca Yogya dari bangunan bersejarah di segenap penjuru kota. Gedung Agung, Keraton Yogya, Tamansari, Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Kotagede, Gedung Senisono, dan Benteng Vredeburg adalah segelintir contoh 'buku terbuka' yang mengungkap sedikit banyak jati diri Yogya. Bangunan-bangunan tersebut masih berdiri kokoh memperkaya Yogya. Namun, keberadaan bangunan-bangunan itu ternyata tak jarang penuh dinamika.
Sebut saja Benteng Vredeburg. Bangunan yang dibangun tahun 1765 ini dulu bernama Rustenburg, berarti Benteng Peristirahatan. Karena gempa bumi dahsyat melanda Yogya tahun 1867, benteng ini dibangun kembali dan berganti nama menjadi Vredeburg. Nama terakhir ini mempunyai makna politis, yakni Benteng Perdamaian. Ya, nama yang sungguh bertolak belakang dengan fungsi sebenarnya. Sebab, Benteng Vredeburg dibangun dalam jarak tembak meriam ke arah Keraton Yogyakarta. Dan lagi, di dalam Benteng Vredeburg inilah pejuang-pejuang kita disiksa dan dipenjara. Kini, selain masih terpelihara dengan baik, Benteng Vredeburg telah bermanfaat secara sosial buat masyarakat. Berbagai macam event seni budaya, sosial, dan pariwisata telah berlangsung di sana.
Nasib berbeda agaknya dialami saudara kandung Benteng Vredeburg di Solo, yakni Benteng Vastenburg. Dilihat dari fungsi, bentuk, denah bangunan, serta letak benteng, ada semacam kesamaan tipologi arsitektur antara Benteng Vastenburg dan Benteng Vredeburg. Keduanya sama-sama dibangun di depan keraton. Keduanya sama-sama menjadi penanda pahit: kita pernah dinistakan bangsa lain di negeri sendiri.
Sayang, nasib Benteng Vastenburg tak seberuntung Benteng Vredeburg. Benteng di ujung Jl Jenderal Sudirman Solo ini sebagian besar fasad bangunan telah rusak parah. Yang lebih mengenaskan, Benteng Vastenburg kini telah ‘dijual’ ke pihak swasta. Konon, di sana bakal dibangun hotel berbintang dan pusat perbelanjaan. Jika petaka cagar budaya ini benar-benar terjadi, bukan mustahil hal serupa akan merembet ke cagar budaya lain.
Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pengalaman pahit di negara Barat sekitar tahun 1970 an. Waktu itu ada tren melakukan penggusuran bangunan-bangunan tua untuk memberikan ruang bagi bangunan-bangunan baru. Belakangan, tindakan gegabah itu diratapi banyak orang dari berbagai kalangan. Mereka menyebutnya bunuh diri arsitektural. Disebut begitu karena justru pemerintah merekalah yang menghancurkan arsitektur-arsitektur tua dan bersejarah yang seharusnya dilindungi.
Menghancurkan bangunan kuno bersejarah sama halnya dengan menghapuskan cermin jati diri. Dengan hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah.. Kita mesti berkarib dengan sejarah. Sepahit apapun sejarah kita Dan agaknya, petuah bijak pujangga Ronggowarsito di atas perlu terus didengungkan di negeri ini. *** (AGUNG HARTADI – KOMPAS, 8 April 2009)

ANDONG, RIWAYATMU NANTI

Ketika menyusuri beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta, saya gembira karena ternyata ANDONG masih memberi warna kota kita ini. Di beberapa titik, misalnya di sepanjang Malioboro, seputar Pasar Beringharjo, Ngasem, dan Kotagede, ANDONG-ANDONG ini masih gampang ditemui. Yogyakarta, sebagai daerah tujuan wisata, tentu membutuhkan keberadaan kendaraan tradisional ini. ANDONG mempunyai peran vital, bahkan strategis.
Saya optimis, ANDONG-ANDONG ini akan terus bertahan. Tapi optimisme saya ini bisa saja salah. Karena, kalau merunut ke belakang, jumlah ANDONG yang ada sekarang ini sudah jauh berkurang ketimbang dulu. Sebagai ilustrasi, di sekitar tahun 1970 an, ANDONG yang mangkal di Kotagede jumlahnya puluhan. ANDONG-ANDONG itu berjejer di sepanjang Jl Mentaok Raya, dari timur Pasar Kotagede ke selatan hingga depan pintu kompleks makam Panembahan Senopati.
Sekarang, berapa jumlah ANDONG yang mangkal di Kotagede? Jangan heran, bisa dihitung hanya dengan sebelah jari. Rute yang biasa dilayani pun hanya rute klasik : Kotagede - Pasar Beringharjo. Maklumlah, pengguna ANDONG ini adalah orang-orang Kotagede yang berdagang di Pasar Beringharjo. Sempitnya segmen pasar ini jelas mengkhawatirkan. Suatu saat, jika para penumpang ini pindah ke angkutan lain, kendaraan pribadi atau bus misalnya, ANDONG jelas akan gulung tikar.
Dinamika yang sama terjadi juga di pangkalan ANDONG lain. Sebut saja pangkalan ANDONG di Puro Pakualaman. Sekarang, jarang atau bahkan tak ada lagi ANDONG yang mangkal di sana.
Menyusutnya jumlah ANDONG ini harus diantisipasi sedini mungkin. ANDONG, sebagai salah satu icon pariwisata Yogya, jangan-jangan akan bernasib sama dengan saudara kandungnya, si gerobak sapi. Gerobak sapi, diawal tahun 1980 an, menjadi kendaraan favorit untuk mengangkut batu-bata dan genting dari desa ke kota. Sekarang, gerobak sapi sudah lenyap dari bumi Mataram, lenyap digerus kendaraan modern yang tidak ramah lingkungan.
Supaya nasibnya tidak sama dengan gerobak sapi, ANDONG harus tetap dipertahankan dengan berbagai cara. Pemerintah, dalam hal ini Pemrov dan Pemkot Yogya, jangan mengambil kebijakan yang merugikan keberadaan ANDONG. Kalau perlu, beri mereka insentif untuk mempercantik ANDONG mereka. ASITA (Asosiasi Biro Perjalanan Wisata) Yogya, harus lebih proaktif lagi melibatkan komunitas kusir ANDONG ini dalam program-program mereka. Untuk obyek-obyek wisata dalam kota, misalnya Kraton, Taman Sari, dan Kotagede, prioritaskanlah penggunaan ANDONG ini. Jangan memakai bus pariwisata.
Kalau secara ekonomi para kusir ANDONG ini diuntungkan, keberadaan ANDONG di kota Yogya akan mudah dipertahankan. Mereka secara otomatis akan mewariskan ke anak cucu mereka. Ya, karena kusir ANDONG adalah profesi yang menjajikan. Dengan demikian, meski kendaraan modern bermunculan, meski tahun bertambah dan generasi berganti,  ANDONG-ANDONG akan tetap mewarnai ruas-ruas jalan di kota Yogya. Sama seperti Tugu Yogya yang berdiri kokoh menantang langit. Semoga. Entah sampai kapan. ***  
(AGUNG HARTADI – KOMPAS, 14 Mei 2008)

TOPONIM KOTAGEDE SITUS NGEJAMAN

Situs Ngejaman terletak hanya beberapa meter di barat laut PASAR KOTAGEDE Jogja. Tempat ini disebut Ngejaman karena terdapat sebuah tugu prasasti yang dilengkapi jam penunjuk waktu. Sebagai sebuah tetenger, Tugu Ngejaman ini terlihat kurang menonjol. Selain dimensi fisiknya tidak terlalu besar, penempatannya pun kini menempel pada dinding rumah warga. Tugu Ngejaman merupakan hadiah dari Kasunanan Surakarta Hadiningrat era Paku Buwana X.
Buat sebagian masyarakat Kotagede, kawasan Ngejaman ini tak jarang digunakan sebagai tempat kencan. “Tak enteni neng Ngejaman,” adalah kalimat yang lazim diucapkan untuk janjian ketemu di Ngejaman. Sedangkan buat para kusir ANDHONG, karena kebutuhan fungsional, pagar besi pada Tugu Ngejaman tersebut sering dipergunakan untuk menambatkan tali kekang kuda. Di depan Tugu Ngejaman, sambil memberi makan dan minum kuda, para kusir menunggu penumpang, yaitu para bakul Kotagede yang berjualan di PASAR BERINGHARJO.
ANDHONG hanya dijumpai di kota-kota besar bekas kerajaan Jawa. Berbeda dengan dokar yang bisa tersebar di kota-kota kabupaten hingga kecamatan. Oleh karena itu pula ANDHONG banyak dijumpai di Kotagede yang merupakan bekas kota Keraton Mataram, dan sekaligus juga bagian dari Kota Yogyakarta. ANDHONG-ANDHONG  ini biasanya milik warga di timur dan selatan Kotagede. Di antaranya Manggisan, Banjardadap, Karang Singosaren, Sareman, Grojogan, dan Plered.
Ketika diadakan penataan kawasan Tugu Ngejaman di tahun 2009, makhutho atau mahkota sebagai simbol kekuasaan Kasunanan Surakarta yang ada inisialnya PB X, hilang dicuri orang yang tidak bertanggungjawab. Sampai saat ini belum ada upaya mengembalikan makhutho yang hilang tersebut, meski berbentuk replika sekalipun ke tempat semula. (EWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE SITUS BABON ANIEM

Babon Aniem merupakan salah satu landmark kota yang dimiliki Kotagede. Babon Aniem adalah gardu listrik yang berada di sudut barat laut PASAR KOTAGEDE. Gardu listrik ini dibangun di awal tahun 1900 an. Disebut Babon karena gardu listrik di pojok PASAR KOTAGEDE ini adalah gardu induk (babon). Sedangkan tambahan nama Aniem digunakan karena gardu pusat kontrol listrik tersebut merupakan warisan perusahan listrik Pemerintah Belanda, NV ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteit Maatschappij). Saat ini, di Kota Yogyakarta masih ada empat gardu listrik yang tersisa, yaitu yang terletak di Kotabaru, di timur Hotel Garuda, di dekat Pojok Beteng Wetan dan di barat laut PASAR KOTAGEDE. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)