KAMPUNG DARAKAN bisa dikata kampungnya makanan tradisional. Wajar saja, karena di tahun 1950-1960 an, dari kampung ini banyak muncul tokoh legendaris pengolah makanan tradisional. Sebut saja Mbok Punjul. Menyebut nama Mbok Punjul, orang tentu takkan lupa dengan Karto Punjul, pelopor pengolah makanan tradisional bikan. Dinamai Karto Punjul karena ibu jari tangan Mbah Karto ini ada sedikit tonjolan, sehingga jarinya terkesan sedikit lebih atau punjul. Bikan Karto Punjul ini makanan favorit masyarakat Kotagede di tahun 1960-1970 an. Rasanya manis, dicetak dengan bentuk loyang bunder.
Di KAMPUNG DARAKAN, persisnya di Jalan Mondorakan yang dekat dengan kawasan Soka, dahulu banyak warung yang menjual makanan tradisional pilihan. Warung-warung tersebut berjejer dari timur ke barat. Selain Mbok Punjul yang membuka kios di sisi paling timur, ada lagi yang menjual penganan jenang (bubur) nangka dan jrangking. Jenang nangka adalah bubur terbuat dari ketan, diolah menggunakan bumbu dasar buah nangka, santan, dan gula merah. Sedangkan jrangking terbuat dari ketan, rasanya gurih, dan bentuknya mirip jadah yang diiris tipis-tipis. Jrangking biasa dimakan setelah dibakar. Karena rasanya gurih, jrangking sering dipakai untuk sendok ketika memakan jenang nangka yang rasanya manis. Jrangking dan jenang nangka adalah paket makanan yang tak terpisahkan.
Namun, kekayaan makanan tradisional dari KAMPUNG DARAKAN ini satu demi satu tergilas zaman. Ketika meletus geger G-30-S, dampaknya pun menular ke Kotagede. Suasana mencekam membuat mereka takut, karena terjadi penangkapan di mana-mana. Warung-warung makanan tradisional di Jalan Mandarakan pun terpaksa tutup. Setelah peristiwa geger tersebut, makanan jrangking tak pernah muncul lagi. Penganan bikan masih sempat bertahan. Hingga tahun 1980-an, produksi bikan masih diteruskan oleh Sosro Siti Aminah, menantu Karto Punjul. Namun, semenjak Sosro Siti Aminah meninggal, tak ada lagi yang menggantikannya. Akhirnya, bikan pun mengikuti jejak jrangking dan jenang nangka.
Untungnya, kini masih ada makanan kipa. Makanan tradisional dari kampung ini tetap bertahan, meski generasi telah berganti. Kipa dibuat dari bahan ketan, santan, garam, gula, dan pewarna daun pandan. Di dalamnya terdapat enten-enten (parutan kelapa dicampur gula jawa) dan dipanggang menggunakan lapisan daun pisang tanpa minyak.
Keberadaan makanan kipa ini harus tetap dipertahankan. Di kampung lain selain KAMPUNG DARAKAN, agaknya mulai tumbuh sentra pengolah makanan kipa. Salah satunya adalah di Kampung Bodon. Namun kita tidak tahu, sampai kapan kipa mampu bertahan di tengah membanjirnya makanan buatan pabrik.
Selain dicatat sebagai kampung makanan tradisional, KAMPUNG DARAKAN telah dipilih sebagai tempat peristirahatan terakhir tokoh besar kebanggaan warga Kotagede, yaitu Prof Dr HM Rasyidi. Di Makam Darakan Timur, mantan Menteri Agama RI yang pertama tersebut bersemayam dengan tenang, dipeluk bumi Darakan. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)
No comments:
Post a Comment