Meski pendopo Sopingen sebenarnya milik privat, di era 1900-1980 pendopo Sopingen pernah menjadi pusat ruang publik egaliter di Kotagede. Tak hanya denyut kesenian, gelegak politik pun pernah terjadi di Sopingen.
Pada masa Kebangkitan Nasional di tahun 1908, pendopo Sopingen merupakan tempat rapat propaganda organisasi Pergerakan Nasional. Di sana, pernah datang dan berpidato tokoh-tokoh seperti HOS Cokroaminoto (Ketua Sarekat Islam), Samanhoedi (Pendiri Sarekat Islam), KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Ki Hajar Dewantoro (Pemimpin Perguruan Tamansiswa). Bahkan pimpinan komunis seperti Samaun, Muso dan Alimin pun pernah hadir dan berpidato di Sopingen.
Hingga pertengahan tahun 1920, tidak mustahil dua organisasi (PKI dan Muhammadiyah) dipilih oleh orang-orang Kotagede dari sekian banyak aneka gerakan Kebangkitan Nasional. Selanjutnya bisa dibayangkan, di Kotagede PKI dan Muhammadiyah bagaikan dua ayam jago dalam satu kandang.
Tumbuhnya pertentangan antara keduanya selama awal 1920 an, yang menjadi masalah pertentangan besar antara Muhammadiyah dan PKI adalah murni ‘politik’ dan ‘agama’, sejauh menyangkut kawasan lokal Kotagede.
Pertentangan keduanya secara dramatis terungkapkan dalam insiden perselisihan bersamaan dengan kongres PKI yang diadakan di Dalem Sopingen Kotagede tahun 1924. PKI keliru memilih tempat di Kotagede yang disangka aman untuk melakukan propaganda terbuka.
Propaganda tersebut merupakan bagian kegiatan dari kongres. Semula PKI berkongres di kota Yogyakarta, tetapi di kota Yogyakarta keamanan kurang terjamin, disebabkan kuatnya pengaruh Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Hal itu terlihat ketika rapat propaganda terbuka, propagandais-propagandais komunis disoraki supaya turun. PKI terpaksa memboyong tempat kongresnya ke Kotagede.
Ternyata, di Kotagede malah lebih gawat lagi. Insiden terjadi ketika PKI mencoba mengadakan rapat umum propaganda 14 Desember 1924. Banyak aktivis Muhammadiyah yang hadir. Mereka merencanakan menghalangi rapat, mengingat dalam rapat umum tersebut banyak orang Islam awam yang hadir di sana.
Aktivis-aktivis Muhammadiyah menghendaki agar orang-orang Islam keluar meninggalkan tempat, jangan mendukung PKI. Muncul sedikit ketegangan antara keduanya, tetapi akhirnya aktivis-aktivis Muhammadiyah gagal menghalangi jalannya rapat.
Di tahun 1962-1964, di pendopo Dalem Sopingen Kotagede sering diselenggarakan latihan tari-tarian dan pementasan yang dilakukan oleh LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Ini merupakan salah satu unsur gerakan PKI yang memanfaatkan media kesenian tradisional untuk propaganda. Dalam pementasan tari tersebut muncul garapan tari-tarian rakyat yang bersifat perlawanan. Diantaranya Tari Buruh, Tari Tani, Tari Bagi Hasil, Tari Anjangsana, dan Tari Blonjo Wurung. Kalau pas latihan Tari Bondan, penari wanita ngemban boneka anak, berpayung dan siap menaiki kendi. Penari wanita tersebut selalu menanyai anaknya yang berupa boneka, “Suk gede arep dadi opo, nduk?” Didukung koor para pengrawit, penonton serentak menjawab, “Dadi Gerwani!”
Di tahun 1960-1970 an, gerakan Muhammadiyah, juga ortom-ortomnya banyak menggelar acara pentas seni di pendopo Sopingen. Setiapkali pentas seni, tidak lupa selalu menyisipkan demontrasi olahraga pencaksilat Senopati Pemuda Muhammadiyah Kotagede. Baik permainan jurus maupun pertarungan, dan selalu digairahkan oleh komentator yang mengomentari jurus-jurus yang berseliweran.
Di pendopo Dalem Sopingen juga pernah digunakan untuk pentas-pentas drama lokal Kotagede.Diantaranya pentas Teater Iqbal PII Kotagede. Pernah juga Teater Alam Azwar AN pentas di pendopo Sopingen ini. Lakon yang dimainkan adalah Obrok Owok-Owok, Ebrek Ewek-Ewek karya Danarto. Partai Nasionalis Indonesia juga pernah mementaskan tari-tarian Bagong Kusudihardjo sepulangnya dari Amerika. Serta pada kesempatan yang lain, pentas tari dari kelompoknya Wisnu Wardhana juga tampil di pendopo ini.
Di bidang olahraga, di halaman depan pendopo Dalem Sopingen ada lapangan bulutangkis. Pada malam-malam tertentu, lapangan tersebut sering digunakan untuk net play, begitu masyarakat Kotagede dahulu menyebut kata night play, yaitu latihan bulutangkis di malam hari. Dan sebagai penanda adanya night play itu, selalu ada orang yang memikul lampu strongking, yang dimaksud adalah lampu tekan dengan merk Strongking. Lampu-lampu itu dipikul dari tempat persewaannya di Kampung Bumen, melintas di depan Pasar Kotagede menuju Sopingen. Jalan-jalan yang dilewati akan menyala benderang dan terdengat desis gas yang terbakar dari mesin petromaks. Dan selalu saja orang-orang yang nongkrong di depan Pasar Kotagede akan berkomentar, “Wah, mesthi ono net play neng Sopingen.”
Dengan nomer persil 314, luas tanah 2096,75 m2 dan bangunan sekitar 1800 m2, sejak tahun 1984 Sopingen telah diwariskan kepada ketiga anak keturunan Raden Amatdalem Sopingi. Masing-masing menempati bagian samping bangunan. Sedangkan bagian tengah tetap difungsikan sebagai fasilitas publik. Sayang sekali, sejak tahun 1990 an, pendopo Sopingen itu dijual, menyusul pendopo Mustahalan yang sudah lebih dulu lenyap dari Kotagede.
Karena fungsinya di masa lalu cukup penting, Dalem Sopingen mampu membentuk toponim lokal, meski terbatas. Sejak pendopo tersebut dijual pemiliknya, Sopingen telah kehilangan aura.
Kini, sebagai ruang publik Sopingen tidak berdaya, tidak mampu mengenang masa lalunya, tidak sempat mencatat peristiwa-peristiwa heroik yang pernah dialaminya. Bahkan, tidak mampu membela dirinya sendiri dari tikaman zaman.
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)
sekarang pendoponya sudah berdiri lagi gan...
ReplyDelete