MAKAM NYAI MELATI pernah menjadi fenomena di Kotagede sekitar tahun 1978-1998. Waktu itu aneka jenis judi buntut mewabah di penjuru Indonesia, termasuk di Kotagede. Orang-orang berburu nomor tebakan yang bakal keluar dengan segala cara, termasuk cara-cara yang tidak masuk akal. Judi tersebut disebut nomor buntut, karena yang dibeli cuma kupon nomor 3 atau 2 digit belakang dari 7 nomor kupon undian yang lengkap dan resmi.
Fenomena MAKAM NYAI MELATI dan nomor buntut tentu ada yang mengawali. Menurut cerita yang berkembang, suatu hari ada orang yang iseng menggosok batu nisan makam Nyai Melati dengan minyak cap Srimpi. Sambil mempersembahkan kembang dan membakar kemenyan, tiba-tiba muncul angka-angka yang tidak jelas, yang harus dipecahkan lagi. Selesai menganalisa nomor yang diperoleh, ia pun membeli kupon undian. Ternyata nomor undiannya keluar. Bukan main girangnya orang tersebut. Ia pun mengabarkannya ke orang-orang tentang kesaktian MAKAM NYAI MELATI.
Masyarakat penggemar judi buntut pun memperoleh tempat baru yang ampuh untuk berburu wangsit nomor. Setiap malam, mereka berbondong-bondong menggosok batu nisan MAKAM NYAI MELATI, sambil membawa perlengkapan seperti yang dilakukan perintisnya dahulu. Lilin, minyak srimpi, kembang, dan kemenyan adalah perlengkapan utama. Mereka datang bukan hanya dari Kotagede. Orang-orang dari berbagai tempat seperti Klaten, Magelang, Muntilan, Wates, dan banyak lagi lainnya berbondong-bondong berziarah berburu nomor buntut ke kubur Nyai Melati.
Namun, ziarah nomor buntut itu lama-kelamaan surut. Mungkin karena tebakannya banyak yang meleset, mereka mulai meragukan keampuhan makam Nyai Melati. Mereka merasa, Nyai Melati mulai pelit dan tidak mengobral rezeki nomor buntut lagi. Mereka mulai mencari tempat wingit yang lebih ampuh lagi, dan membiarkan MAKAM NYAI MELATI membeku kedinginan. Di malam-malam seterusnya, Makam Nyai Melati pun akhirnya dilupakan orang.
Pada paruh tahun 2000 an, Kompleks MAKAM NYAI MELATI yang teduh oleh rimbunnya pohon preh dan munggur, kalau siang hari menjadi ajang judi. Masyarakat Dalem merasa resah dengan maraknya lagi dunia judi di kampung mereka. Menurut pemikiran masyarakat, agar tempat tersebut tidak dijadikan arena judi, pohon-pohon peneduh itu yang mesti ditebang. Lalu, siapa yang sanggup dan berani melakukan. Muncullah Supardiyono, pengelola kesenian jathilan Taruna Bakti Tama dari Singosaren. Ia sanggup dan berani menebang pohon-pohon sarang dhemit tersebut. Cara tersebut berhasil mengusir para penjudi pergi, namun entah dengan dhemitnya. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)
No comments:
Post a Comment