Tuesday, August 23, 2011

TOPONIM KOTAGEDE SITUS PASAR KOTAGEDE

Para sejarawan memperkirakan, lokasi PASAR KOTAGEDE sekarang adalah sama dengan Pasar Gedhe di zaman MATARAM. PASAR KOTAGEDE adalah bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal. Empat wahana menjadi kesatuan tunggal. Terpisah tapi terhubung oleh koridor jalan-jalan. Pasar sebagai pusat perekonomian, Alun-alun sebagai pusat adat budaya masyarakat, Masjid sebagai pusat peribadatan, dan Keraton sebagai pusat kekuasaan.
    Ketika hendak mengembangkan sebuah kota, Sutawijaya dibimbing pamannya Ki Gede Pemanahan membuka hutan Mentaok. Kemudian, yang dibangun terlebih dahulu adalah sebuah pasar yang besar (pada waktu itu), sehingga pada mulanya kota itu dikenal dengan nama Pasar Gedhe, atau masyarakat luas menyebutnya, Sargedhe.
    Keputusan Sutawijaya untuk membuka pasar terlebih dahulu, dinilai sangat tepat. Sebab, pasar adalah jantung perekonomian. Dengan adanya pasar, perdagangan menjadi hidup. Geliat perdagangan hidup, kota menjadi ramai dan makmur. Ketika masyarakat mengembangkan diri bekerja di beragam profesi, profesi-profesi tersebut senantiasa dekat dengan pasar. Sehingga memunculkan toponim nama kampung berdasarkan profesi yang berkait dengan pasar. Sebagaimana Kampung Sayangan di barat pasar, Kampung Pandean di timur pasar, Kampung Samakan dan kawasan Payungan di selatan pasar.
    Jika mencermati dinamika sejarah PASAR KOTAGEDE, di sekitar tahun 1930 an, pernah ada beberapa orang dari etnis Tionghoa menetap dan ikut meramaikan dunia perdagangan di Kotagede. Misalnya di utara Babon Aniem, ada toko aneka peralatan dapur dan pakaian milik warga etnis Tionghoa. Pemiliknya dikenal dengan nama Bah Obral, karena sering menjual barang dengan cara diobral. Di  timur toko Bah Obral, ada juga warga etnis Tionghoa lain, ia berjualan gula batu. Sayang,  nama warga etnis Tionghoa tersebut tidak diketahui.
    Selain di utara PASAR KOTAGEDE, di timur pasar pun ada juga warga etnis Tionghoa yang ikut meramaikan dunia perdagangan di Kotagede. Masyarakat Kotagede mengenalnya sebagai Bah Obong. Disebut Bah Obong karena tokonya pernah kobong atau terbakar.
    Sebenarnya tak ada konflik sosial antara masyarakat asli dengan warga etnis Tionghoa yang berdagang di Kotagede. Namun, di tahun 1943 ketika Jepang masuk Kotagede, ada sekelompok orang yang memaksa Bah Obral meninggalkan tempat usahanya. Bah Obral tidak mau pergi. Sekelompok orang tersebut membuka paksa toko Bah Obral. Barang dan dagangan Bah Obral pun dibagikan gratis kepada masyarakat yang ada di pasar. Tak ada perlawanan dari Bah Obral. Namun, masyarakat yang diberi barang dagangan Bah Obral malah bingung, ada kejadian apa sebenarnya. Karena takut, sejak peristiwa itu Bah Obral pun tak lagi menetap di Kotagede.
    Pada perkembangan selanjutnya, Pemerintah Hindia Belanda membangun konstruksi besi khas pada los-los pasar yang seragam di pasar-pasar tradisional. Ketika itu belum ada satu kios pun.  Menjelang tahun 1960, baru berdiri kios di sebelah utara dan barat pasar Kotagede. Kawasan pasar Kotagede waktu itu masih dikelilingi pagar kawat berduri. Kemudian di dalam pasar ditumbuhi beberapa pohon waru besar. Dahulu, di dalam pasar ada warga pendatang dari luar Kotagede yang menetap di sana. Seperti pedagang arang, kayu bakar, maupun warung nasi dan wedang (minuman panas). Salah satu penghuninya yang legendaris bernama Sonto dan Beles. Beles, profesinya sebagai pembantu bandar judi kartu, yang tiap malam digelar di tengah pasar.
      Di PASAR KOTAGEDE, pasaran legi adalah aktivitas luberan pasar, kegiatan jual beli para pedagang berada di luar bangunan pasar. Di tengah jalan, di lorong-lorong kampung sekitar pasar. Aktivitas perdagangan jauh lebih besar di hari Legi ketimbang di hari lain. Pedagang dari tempat yang jauh seperti Piyungan, Imogiri, Terong, Dlingo atau Magelang banyak yang berjualan ketika hari pasaran legi saja.
    Pada pasaran legi, mata dagangan juga lebih lengkap. Bukan hanya keperluan sehari-har,i tapi juga peralatan pertanian dengan benihnya, burung berkicau lengkap dengan sangkarnya, unggas, ikan hias dan bahkan majalah dan komik. Ketika pasaran legi tiba, biasanya tampil juga tukang obat, tukang sulap, tukang ramal, tukang kerokan dan lain-lain.
    Kini, nama PASAR KOTAGEDE kadang membaur dengan PASAR LEGI. Sehingga PASAR KOTAGEDE kadang juga disebut sebagai PASAR LEGI atau disingkat Sarlegi. Nama PASAR LEGI pun sedikit demi sedikit menggantikan nama pasar yang sebenarnya. Bahkan, nama Pasar Legi akhirnya terpahat di atas gerbang pintu utama pasar. Nama PASAR LEGI ada baiknya dikembalikan ke nama semula, PASAR GEDHE atau PASAR KOTAGEDE.
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

No comments:

Post a Comment