MASJID MATARAM berdiri dalam satu kompleks dengan Pasareyan Agung Kotagede, dan dikelilingi oleh tembok setinggi sekitar 2,5 meter. Ada dua pintu gerbang untuk memasuki Kompleks MASJID MATARAM ini, yakni gerbang utama untuk jamaah di sisi timur dan gerbang pelayanan untuk kaum kudus di sisi utara.
Atap utama MASJID MATARAM adalah tajug tumpang dua, didukung oleh empat tiang utama saka guru dari kayu. Di dalam ruang utama terdapat sebuah mimbar yang berasal dari pemberian Sultan Palembang, anak keturunan Prabu Brawijaya V. Sedangkan kenthongan dan bedhug Kyai Dhondhong, diletakkan di serambi MASJID MATARAM.
Di balik Masjid Mataram dimakamkan para leluhur KERAJAAN MATARAM. Dengan demikian, area ini memiliki nilai religius sekaligus spiritual sangat tinggi bagi Keraton Mataram. Masjid ini juga bisa menjadi bukti masuknya Islam ke masyarakat tradisional di pedalaman Jawa, yang pada waktu itu masih didominasi oleh kepercayaan asli dan Hindu. Kepercayaan asli muncul dalam penataan masjid yang menyatu dengan makam para tokoh. Dan karakter Hindu terlihat pada langgam rancangan pagar keliling dan gapura paduraksa. Unsur air yang mengelilingi tempat ibadah juga merupakan kelanjutan dari unsur Hindu.
Dalam sejarahnya, pada masa Ki Ageng Pemanahan, awalnya MASJID MATARAM masih berupa langgar. Oleh Panembahan Senopati, bangunan langgar ini kemudian dipindahkan menjadi cungkup makam. Sedangkan di tempat tersebut didirikan bangunan masjid induk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1587, sebagaimana tertera pada kelir gapura masjid. Tahun 1587 adalah tahun keruntuhan Kerajaan Pajang dan pendirian KERAJAAN MATARAM. Dengan demikian, pendirian MASJID MATARAM tersebut menandai saat penobatan Senopati menjadi raja di KERATON MATARAM. Di masa Sultan Agung, MASJID MATARAM kemudian ditambahi bangunan berupa serambi.
MASJID MATARAM telah mengalami berbagai perubahan dan penambahan. Pada tahun 1919, MASJID MATARAM pernah mengalami kebakaran besar. Empat tahun kemudian, perbaikan akibat kebakaran tersebut dapat diselesaikan. Gerakan Muhammadiyah di Kotagede pun memberikan andil besar terhadap peningkatan Masjid Mataram ini, yaitu diberikannya tambahan emperan pada serambi masjid. Selain itu, parit depan dan samping serambi ditutup, dan sebagai gantinya disiapkan tempat wudhu memakai kran. Atap sirap juga diganti dengan genteng. Terakhir, sebelum gempa bumi 27 Mei 2006 melanda Kotagede, Pemerintah Pusat melalui Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merenovasi besar-besaran Kompleks MASJID MATARAM ini.
Kini, meski dipengaruhi unsur Hindu, namun jagang atau kolam air di sekeliling masjid dihidupkan kembali. Selain berfungsi menyucikan kaki jamaah, air yang mengelilingi emperan juga berperan menyejukkan ruangan.
(EWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)
No comments:
Post a Comment