Wednesday, August 10, 2011

ANDONG, RIWAYATMU NANTI

Ketika menyusuri beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta, saya gembira karena ternyata ANDONG masih memberi warna kota kita ini. Di beberapa titik, misalnya di sepanjang Malioboro, seputar Pasar Beringharjo, Ngasem, dan Kotagede, ANDONG-ANDONG ini masih gampang ditemui. Yogyakarta, sebagai daerah tujuan wisata, tentu membutuhkan keberadaan kendaraan tradisional ini. ANDONG mempunyai peran vital, bahkan strategis.
Saya optimis, ANDONG-ANDONG ini akan terus bertahan. Tapi optimisme saya ini bisa saja salah. Karena, kalau merunut ke belakang, jumlah ANDONG yang ada sekarang ini sudah jauh berkurang ketimbang dulu. Sebagai ilustrasi, di sekitar tahun 1970 an, ANDONG yang mangkal di Kotagede jumlahnya puluhan. ANDONG-ANDONG itu berjejer di sepanjang Jl Mentaok Raya, dari timur Pasar Kotagede ke selatan hingga depan pintu kompleks makam Panembahan Senopati.
Sekarang, berapa jumlah ANDONG yang mangkal di Kotagede? Jangan heran, bisa dihitung hanya dengan sebelah jari. Rute yang biasa dilayani pun hanya rute klasik : Kotagede - Pasar Beringharjo. Maklumlah, pengguna ANDONG ini adalah orang-orang Kotagede yang berdagang di Pasar Beringharjo. Sempitnya segmen pasar ini jelas mengkhawatirkan. Suatu saat, jika para penumpang ini pindah ke angkutan lain, kendaraan pribadi atau bus misalnya, ANDONG jelas akan gulung tikar.
Dinamika yang sama terjadi juga di pangkalan ANDONG lain. Sebut saja pangkalan ANDONG di Puro Pakualaman. Sekarang, jarang atau bahkan tak ada lagi ANDONG yang mangkal di sana.
Menyusutnya jumlah ANDONG ini harus diantisipasi sedini mungkin. ANDONG, sebagai salah satu icon pariwisata Yogya, jangan-jangan akan bernasib sama dengan saudara kandungnya, si gerobak sapi. Gerobak sapi, diawal tahun 1980 an, menjadi kendaraan favorit untuk mengangkut batu-bata dan genting dari desa ke kota. Sekarang, gerobak sapi sudah lenyap dari bumi Mataram, lenyap digerus kendaraan modern yang tidak ramah lingkungan.
Supaya nasibnya tidak sama dengan gerobak sapi, ANDONG harus tetap dipertahankan dengan berbagai cara. Pemerintah, dalam hal ini Pemrov dan Pemkot Yogya, jangan mengambil kebijakan yang merugikan keberadaan ANDONG. Kalau perlu, beri mereka insentif untuk mempercantik ANDONG mereka. ASITA (Asosiasi Biro Perjalanan Wisata) Yogya, harus lebih proaktif lagi melibatkan komunitas kusir ANDONG ini dalam program-program mereka. Untuk obyek-obyek wisata dalam kota, misalnya Kraton, Taman Sari, dan Kotagede, prioritaskanlah penggunaan ANDONG ini. Jangan memakai bus pariwisata.
Kalau secara ekonomi para kusir ANDONG ini diuntungkan, keberadaan ANDONG di kota Yogya akan mudah dipertahankan. Mereka secara otomatis akan mewariskan ke anak cucu mereka. Ya, karena kusir ANDONG adalah profesi yang menjajikan. Dengan demikian, meski kendaraan modern bermunculan, meski tahun bertambah dan generasi berganti,  ANDONG-ANDONG akan tetap mewarnai ruas-ruas jalan di kota Yogya. Sama seperti Tugu Yogya yang berdiri kokoh menantang langit. Semoga. Entah sampai kapan. ***  
(AGUNG HARTADI – KOMPAS, 14 Mei 2008)

No comments:

Post a Comment