Tuesday, January 24, 2012

Toponim Kotagede Kampung Pasegan

Kampung Pasegan berada sekitar 300 meter di timur laut Pasar Kotagede. Secara administratif, Kampung Pasegan masuk RW V bersama dengan Kampung Keboan dan Sokowaten. Karena terlalu sedikitnya sumber akademik yang bisa digali, asal muasal nama dan sejarah kampung ini sulit dinarasikan. Namun, nama Pasegan diduga berasal dari kata sega yang berarti nasi. Jadi, Pasegan berarti tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menyiapkan hidangan nasi yang digunakan sebagai ubarampe dalam upacara-upacara kerajaan.  (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Toponim Kotagede Kampung Karang

Kampung Karang terletak di sebelah barat Lapangan Karang, masuk dalam administratif RW 05 Prenggan. Awalnya, Kampung Karang yang padat penduduknya berada di sebelah timur Jalan Nyai Pembayun. Dalam perkembangannya, sebelah barat Jalan Nyai Pembayun yang semula adalah ladang perkebunan, kemudian tumbuh rumah-rumah, perkantoran, Pondok Pesantren Fauzul Muslimin, dan Kompleks Masjid Mu’adz bin Jabal.
            Ketika pemerintah Orde Baru gencar mendirikan SD Inpres, Kampung Karang pun mendapatkan jatah. Malah, dua SD Inpres sekaligus akhirnya dibangun di kampung ini. Yang satu bernama SD Inpres Karangsari, dan yang satunya lagi SD Inpres Karangmulyo. Kedua SD Inpres itu menggunakan nama Karang, karena memang keduanya berada di Kampung Karang. Sayang, karena kedua SD Inpres tersebut kekurangan murid, akhirnya dua SD digabung menjadi satu di SD Inpres Karangmulyo, dan berganti nama menjadi SD Negeri Karangmulyo. Muridnya pun banyak, dan datang dari berbagai kampung di Kotagede.
            Di jagad kesenian, Kampung Karang pernah menorehkan sejarah sebagai kampung ketoprak. Sebagai catatan, di tahun 1950-1960-an, tokoh ketoprak seperti Kadariyah, Rukinah, Jadi, dan Suyatin adalah sebagian pemain hebat yang mengadakan pertunjukan ketoprak di kampung ini. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Toponim Kotagede Kampung Bodon

Kampung Bodon berada kurang lebih 600 meter di barat Pasar Kotagede. Nama Bodon diambil dari seorang tokoh bernama Panembahan Bodo. Beliau yang bernama asli Raden Trenggana adalah putra Adipati Terung II, dan cucu Raja Majapahit, Brawijaya V. Disebut bodho atau bodoh karena menolak untuk menduduki takhta adipati Terung. Ia lebih suka nyepi sebagai penyebar agama di desa Pijenan, Pandak, Bantul, sesuai dengan anjuran gurunya, Sunan Kalijaga.
            Ketika terjadi perang Mataram-Pajang, Panembahan Bodo diminta untuk membantu kedua pihak, namun menolak, meski Sultan Hadiwijaya maupun Panembahan Senopati berusaha membujuknya. Sikap netral Panembahan Bodho juga diperlihatkan ketika terjadi konflik Panembahan Senopati dengan Ki Ageng Mangir. Karena sangat menghormati Panembahan Bodo, Panembahan Senopati memberikan lahan di barat Kerajaan Mataram. Lahan tersebut kini dikenal sebagai Kampung Bodon.           
Di Bodon, juga ada cerita rakyat Mbok Randha Bodon dan Ki Ageng Paker, yang berhasil menemukan Ki Jaka Mangu, nama burung perkutut raja Majapahit yang hilang.  Seperti di kampung lainnya, di  zaman Orde Lama, di Kampung Bodon juga pernah tumbuh panggung-panggung ketoprak yang dikelola oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). 
            Saat ini Kampung Bodon merupakan kampung yang menyisakan banyak bangunan kuno, baik bangunan dengan arsitektur Jawa maupun bangunan dengan corak arsitektur Eropa, Cina, dan Timur Tengah. Lorong-lorong sempit eksotik di Kampung Bodon juga memiliki daya tarik tersendiri. Sedangkan sebuah SD Muhammadiyah yang ada di kampung ini, pun memakai nama Bodon sebagai nama sekolah mereka. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede , 2011)

Tuesday, November 22, 2011

TOPONIM KOTAGEDE TEMPEL



Tempel adalah sebuah kawasan yang terletak persis di selatan Pasar Kotagede, terdiri hanya beberapa deret rumah dengan cacah terbatas. Ada dugaan kuat bahwa kawasan ini sejak dahulu memang menempel pada kawasan bekas Alun-Alun. Kemudian berdasarkan kebutuhan, yang semula tempelan itu menjadi semi permanen. Agar praktis dan tidak terlalu melelahkan setiap kali bongkar pasang, akhirnya mereka berani membangun permanen. Bangunan itu menempel di wilayah yang bukan semestinya. Karena menempel, lalu warga pun menamai kawasan ini dengan sebutan, Tempel.
            Di kawasan Tempel sejak lama telah tumbuh pembuat dan penjual makanan khas Kotagede, seperti gandhos, wajik klethik, sagon, ukel, banjar, lombokan dan yangko. Dari keluarga di Tempel, anak-anaknya telah menyebar dan menciptakan kawasan baru sebagai sentra pembuat dan penjual yangko, seperti di Kampung Kitren, Patalan, Giwangan, dan Gambiran. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE LEDHOK


Kampung Ledhok berada sekitar 600 meter pada arah barat daya Pasar Kotagede. Sebuah kawasan bentang alam yang berupa tanah rendah (ledhok). Pada dataran rendah tersebut terdapat permukiman padat yang disebut Kampung Ledhok. Tanah tingginya di sebelah barat Kampung Ledhok adalah Kampung Karangduren, sebelah utara merupakan Kampung Pondhongan dan Sanggrahan, dan di sebelah timur adalah Kampung Cokroyudan dan Kampung Dalem.
            Kampung Ledhok memiliki sebuah makam, masyarakat menamakan Kuburan Ledhok. Di Kuburan Ledhok sebelah utara, berupa tebing yang dahulu sebelum ditalud sering longsor. Akibat sering longsor, tak jarang jerangkong atau kerangka jenazah muncul tiba-tiba dari lobang-lobang tanah tebing tersebut. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Sunday, November 13, 2011

TOPONIM KOTAGEDE TUMENGGUNGAN


Kawasan Tumenggungan berada sekitar 420 meter di barat laut Pasar Kotagede. Secara administratif, kawasan Tumenggungan berada di RT 04 RW 04 wilayah Kampung Citran. Tumenggungan ini adalah kawasan rumah kediaman Tumenggung Mertoloyo. Namun, data tentang siapa Tumenggung Mertoloyo ini tidak begitu banyak diketahui. Hanya, di Dalem Tumenggungan inilah dahulu pusat pemerintahan Kotagede wilayah Kasunan Surakarta berada.
            Di kawasan Tumenggungan tersebut terdapat kediaman Bahuwinangun, yaitu seorang saudagar yang di masa lalu memiliki konsesi di bidang pengadaan kain mori. Bahuwinangun selain menjadi abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, juga merupakan saudagar emas dan intan di Kotagede. Bahuwinangun sadar betul akan pentingnya pendidikan. Karena itu salah satu anaknya, yaitu Kasmat, ia sekolahkan di negeri Belanda.
            Sebagaimana anak-anak bangsa Indonesia lainnya yang belajar di luar negeri, Kasmat Bahuwinangun memilih pergerakan nasional sebagai alat perjuangan memerdekakan bangsanya. Tahun 1943, Kasmat Bahuwinangun memperoleh gelar Mr (Mister) dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Sepulang ke tanah air, Kasmat Bahuwinangun menjadi Pengurus Besar Muhammadiyah, juga anggota Pengurus Besar Partai Islam Indonesia, serta menjadi anggota delegasi Majelis Islam A’la Indonesia (MAII) di Jepang.
            Bersama dengan Abdul Kahar Muzakhir dan Faried Ma’roef, Mr Kasmat ditangkap oleh Belanda pada masa Perang Dunia II. Mereka bertiga dijatuhi hukuman mati, tetapi berhasil selamat karena pemerintahan Belanda dijatuhkan oleh Jepang. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan sebagai salah seorang perintis kemerdekaan. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE DALEM MUSTAHALAN


Dalem Mustahalan berada sekitar 380 meter di barat laut Pasar Kotagede. Lokasi persisnya, yaitu di kampung Mranggen RT 30 RW 06 Prenggan. Dalem Mustahalan wujud secara fisik sudah tidak ada. Kini, yang tinggal di bekas Dalem Mustahalan adalah permukiman padat penduduk, yang beberapa penghuninya adalah keturunan dari Raden Amatdalem Mustahal. Amatdalem Mustahal adalah kepala lurah juru kunci makam dari Kasultanan Yogyakarta. Nama Mustahalan diambil dari nama beliau. Amatdalem adalah gelar jabatan. Jabatan Amatdalem ini turun temurun diperoleh dari nenek moyang mereka sesudah masa Perang Jawa (1825-1830), ketika kebanyakan para pejabat makam waktu itu melarikan diri, karena salah satu juru kunci Solo dipenggal kepalanya oleh pemberontak.
            Di kawasan ini, dahulu pernah berdenyut berbagai aktivitas kesenian seperti tari-tarian dan ketoprak. Selain aktivitas seni budaya, di Dalem Mustahalan juga pernah berdiri Sekolah Taman Kanak-Kanak. Diantara guru sekolah tersebut ada yang berasal dari keturunan Amatdalem Mustahal.
            Sayang, kini pendapa dan rumah induk Mustahalan tersebut sudah raib, berganti permukiman padat penduduk yang tak beraturan. Nama Mustahalan mulai dilupakan orang. Karena berada di wilayah Kampung Mranggen, kini masyara­kat lebih sering menyebut Mustahalan dengan sebutan, Mranggen. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)