Tuesday, November 22, 2011

TOPONIM KOTAGEDE TEMPEL



Tempel adalah sebuah kawasan yang terletak persis di selatan Pasar Kotagede, terdiri hanya beberapa deret rumah dengan cacah terbatas. Ada dugaan kuat bahwa kawasan ini sejak dahulu memang menempel pada kawasan bekas Alun-Alun. Kemudian berdasarkan kebutuhan, yang semula tempelan itu menjadi semi permanen. Agar praktis dan tidak terlalu melelahkan setiap kali bongkar pasang, akhirnya mereka berani membangun permanen. Bangunan itu menempel di wilayah yang bukan semestinya. Karena menempel, lalu warga pun menamai kawasan ini dengan sebutan, Tempel.
            Di kawasan Tempel sejak lama telah tumbuh pembuat dan penjual makanan khas Kotagede, seperti gandhos, wajik klethik, sagon, ukel, banjar, lombokan dan yangko. Dari keluarga di Tempel, anak-anaknya telah menyebar dan menciptakan kawasan baru sebagai sentra pembuat dan penjual yangko, seperti di Kampung Kitren, Patalan, Giwangan, dan Gambiran. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE LEDHOK


Kampung Ledhok berada sekitar 600 meter pada arah barat daya Pasar Kotagede. Sebuah kawasan bentang alam yang berupa tanah rendah (ledhok). Pada dataran rendah tersebut terdapat permukiman padat yang disebut Kampung Ledhok. Tanah tingginya di sebelah barat Kampung Ledhok adalah Kampung Karangduren, sebelah utara merupakan Kampung Pondhongan dan Sanggrahan, dan di sebelah timur adalah Kampung Cokroyudan dan Kampung Dalem.
            Kampung Ledhok memiliki sebuah makam, masyarakat menamakan Kuburan Ledhok. Di Kuburan Ledhok sebelah utara, berupa tebing yang dahulu sebelum ditalud sering longsor. Akibat sering longsor, tak jarang jerangkong atau kerangka jenazah muncul tiba-tiba dari lobang-lobang tanah tebing tersebut. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Sunday, November 13, 2011

TOPONIM KOTAGEDE TUMENGGUNGAN


Kawasan Tumenggungan berada sekitar 420 meter di barat laut Pasar Kotagede. Secara administratif, kawasan Tumenggungan berada di RT 04 RW 04 wilayah Kampung Citran. Tumenggungan ini adalah kawasan rumah kediaman Tumenggung Mertoloyo. Namun, data tentang siapa Tumenggung Mertoloyo ini tidak begitu banyak diketahui. Hanya, di Dalem Tumenggungan inilah dahulu pusat pemerintahan Kotagede wilayah Kasunan Surakarta berada.
            Di kawasan Tumenggungan tersebut terdapat kediaman Bahuwinangun, yaitu seorang saudagar yang di masa lalu memiliki konsesi di bidang pengadaan kain mori. Bahuwinangun selain menjadi abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, juga merupakan saudagar emas dan intan di Kotagede. Bahuwinangun sadar betul akan pentingnya pendidikan. Karena itu salah satu anaknya, yaitu Kasmat, ia sekolahkan di negeri Belanda.
            Sebagaimana anak-anak bangsa Indonesia lainnya yang belajar di luar negeri, Kasmat Bahuwinangun memilih pergerakan nasional sebagai alat perjuangan memerdekakan bangsanya. Tahun 1943, Kasmat Bahuwinangun memperoleh gelar Mr (Mister) dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Sepulang ke tanah air, Kasmat Bahuwinangun menjadi Pengurus Besar Muhammadiyah, juga anggota Pengurus Besar Partai Islam Indonesia, serta menjadi anggota delegasi Majelis Islam A’la Indonesia (MAII) di Jepang.
            Bersama dengan Abdul Kahar Muzakhir dan Faried Ma’roef, Mr Kasmat ditangkap oleh Belanda pada masa Perang Dunia II. Mereka bertiga dijatuhi hukuman mati, tetapi berhasil selamat karena pemerintahan Belanda dijatuhkan oleh Jepang. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan sebagai salah seorang perintis kemerdekaan. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE DALEM MUSTAHALAN


Dalem Mustahalan berada sekitar 380 meter di barat laut Pasar Kotagede. Lokasi persisnya, yaitu di kampung Mranggen RT 30 RW 06 Prenggan. Dalem Mustahalan wujud secara fisik sudah tidak ada. Kini, yang tinggal di bekas Dalem Mustahalan adalah permukiman padat penduduk, yang beberapa penghuninya adalah keturunan dari Raden Amatdalem Mustahal. Amatdalem Mustahal adalah kepala lurah juru kunci makam dari Kasultanan Yogyakarta. Nama Mustahalan diambil dari nama beliau. Amatdalem adalah gelar jabatan. Jabatan Amatdalem ini turun temurun diperoleh dari nenek moyang mereka sesudah masa Perang Jawa (1825-1830), ketika kebanyakan para pejabat makam waktu itu melarikan diri, karena salah satu juru kunci Solo dipenggal kepalanya oleh pemberontak.
            Di kawasan ini, dahulu pernah berdenyut berbagai aktivitas kesenian seperti tari-tarian dan ketoprak. Selain aktivitas seni budaya, di Dalem Mustahalan juga pernah berdiri Sekolah Taman Kanak-Kanak. Diantara guru sekolah tersebut ada yang berasal dari keturunan Amatdalem Mustahal.
            Sayang, kini pendapa dan rumah induk Mustahalan tersebut sudah raib, berganti permukiman padat penduduk yang tak beraturan. Nama Mustahalan mulai dilupakan orang. Karena berada di wilayah Kampung Mranggen, kini masyara­kat lebih sering menyebut Mustahalan dengan sebutan, Mranggen. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Wednesday, October 26, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG MRANGGEN


Kampung Mranggen berada sekitar 400 meter di barat laut Pasar Kotagede. Sebutan Mranggen ini berasal dari kata mranggi, yang berarti pembuat hiasan ornamen berupa ukiran kecil pada sarung keris dan tombak. Besar kemungkinan, di Kampung Mranggen ini dahulu pernah tinggal para abdi dalem mranggi.
                Kini, di Kampung Mranggen tidak ada lagi warganya yang berprofesi sebagai pembuat sarung keris dan tombak. Sebagaimana warga kampung lainnya, mereka sebagian bekerja sebagai perajin perak dan emas. Di kampung ini terdapat kantor Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y), yaitu sebuah organisasi yang dibentuk untuk melayani berbagai kebutuhan produksi perak di Kotagede.
                Dalam bidang kesenian tradisional, yang perlu dicatat dari kampung ini adalah lahirnya pemain ketoprak kaliber Yogyakarta, yaitu Sardjono. Sekitar tahun 1974, di tobong ketoprak Ringin Dahono di utara Puskesmas Kotagede, Sardjono berpasangan dengan Surajiyah menjadi pemain utama lakon-lakon garapan, seperti “Mayat Hidup” ataupun “Lintah Putih”. Semula, Sardjono bermain ketoprak pada acara-acara pitulasan di kampung. Ketika ketoprak tobong mengalami perkembangan pesat, Sardjono mulai merambahnya berpasangan dengan pelawak dari Kampung Samakan, Pardi Djenggo.
  Sampai sekarang, Sardjono masih total berkarib dengan ketoprak. Menulis naskah, menjadi pemain, atau sutradara ketoprak adalah dunia yang digelutinya dengan setia. Wajarlah kalau kemudian pemerintah mengangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil di Radio Republik Indonesia, Yogyakarta. Sebuah penghargaan yang pantas untuk seniman ketoprak dari Kampung Mranggen ini. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede, 2011)