Monday, September 26, 2011

TOPONIM KOTAGEDE Kuburan Thokolan


Thokolan adalah nama sebuah kuburan dan sedikit kawasan permukiman. Kuburan ini terletak sekitar 280 meter di barat daya Pasar Kotagede. Berdasarkan dugaan awal, denah fisik area Kuburan Thokolan menyerupai thokolan atau kecambah, sempit di bagian depan dan menggelembung di bagian dalamnya.
            Ada seorang tokoh yang dimakamkan di Thokolan, yakni Tumenggung Cokroyudo. Beliau dahulu adalah seorang abdi dalem yang diberi tugas membawa songsong  atau payung kebesaran Panembahan Senopati ketika mengendarai kereta kuda.
            Tumenggung Cokroyudo dimakamkan di Kuburan Thokolan, akan tetapi namanya justru diabadikan untuk Kampung Cokroyudan. Kuburan Thokolan sendiri masuk kewenangan administratif Kampung Cokroyudan.
            Kuburan Thokolan termasuk salah satu di antara makam yang terkenal angker di Kotagede. Kyai Upet, sering menggoda penjual bakmi pikulan keliling. Kalau malam-malam penjual bakmi melintas, Kyai Upet sering meminta api kepada penjual bakmi dengan upetnya.
Setelah memperoleh api, Kiai Upet bersama upetnya lantas masuk kuburan Thokolan. Upet adalah sabut kelapa yang dipilin menjadi batang kecil memanjang untuk menyimpan percik api. Upet digunakan untuk menyalakan segala sesuatu. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE Ngelo


Kawasan Ngelo merupakan bagian dari bangunan cekdam Mrican. Tempat ini berada sekitar 650 meter di barat daya Pasar Kotagede. Masyarakat menyebut Ngelo untuk kawasan yang dilewati saluran sekunder irigasi cekdam Mrican. Disebut demikian, karena di tempat tersebut pernah tumbuh pohon elo (Ficus racemosa L).
Mata air yang berada di tempat itu pun oleh masyarakat kemudian dinamakan Belik Ngelo. Pada saluran irigasi itu terdapat pintu air. Anak-anak sangat suka mandi pada pintu air tersebut. Anak-anak akan bilang, “Ayo neng Ngelo,” dimana maksudnya adalah mandi di pintu air Ngelo. Sedangkan sebuah makam yang berada di kawasan tersebut dinamakan Kuburan Santen. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE Bendha


Kawasan Bendha berada sekitar 550 meter di barat Pasar Kotagede, persisnya di depan Dalem Proyodranan. Diberi nama Bendha karena di tempat tersebut dahulu pernah ada pohon bendha, pohon besar yang merupakan pohon perindang di tepi jalan. Pohon bendha yang sering dijumpai tumbuh liar ini juga disebut kembang tarok. Dahulu, pohon bendha ini cukup populer sebagai peneduh sehingga dinyanyikan dalam lagu dolanan anak:
Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, Si Rama menyang Sala, leh-olehe payung motha, digarke neng sor nangka, dingkupke neng sor bendha.   (Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, Ayanda pergi ke Sala, oleh-olehnya payung kain, dibuka di bawah pohon nangka, ditutup di bawah pohon bendha).
Pohon ini dahulu banyak tumbuh di tepi Sungai Gajahwong. Batangnya besar, tingginya bisa mencapai puluhan meter. Pohon bendha banyak memberi manfaat sebagai ramuan jamu tradisional untuk masyarakat Kotagede. Karena akarnya bisa mengobati disentri, sedangkan getahnya dapat digunakan sebagai obat sakit perut. Tak banyak jejak sejarah yang tercatat di kawasan ini. Tempat tersebut sekarang banyak dimanfaatkan masyarakat setempat untuk area berdagang. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE Gedrek


Kawasan ini berada sekitar 260 meter di barat laut Pasar Kotagede. Dinamakan Gedrek karena di tempat ini dahulu pernah tumbuh pohon gedrek (genjrot) berukuran besar. Pohon itu melintang di jalan perbatasan antara Kampung Mranggen dan Kampung Trunojayan.
            Ketika pohon gedrek sudah tidak ada, dan di dekatnya muncul warung kelontong, warga sekitar pun lalu memberi nama warung kelontong tersebut dengan nama warung Gedrek. “Arep tuku neng Gedrek,” adalah kalimat yang lazim untuk menyebut membeli di warung milik (Alm) Prapto Ngadiyah itu. Kini, warung Gedrek sudah meningkat statusnya menjadi toko. Tempatnya pun sudah pindah di selatannya, tak jauh dari lokasi semula. Namun, kalimat “Arep tuku neng Gedrek,” masih sering dijumpai, meski nama toko yang sebenarnya adalah Toko Podomoro. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG NYAMPLUNGAN


KAMPUNG NYAMPLUNGAN terletak sekitar 320 meter di utara Pasar Kotagede. Sebutan Nyamplungan, konon berasal dari pohon nyamplung (Calaphyllum inophyllum). Kalau sudah tua, pohon nyamplung ini bisa memiliki tinggi antara 20-30 meter. Pohon nyamplung biasa dimanfaatkan sebagai tanaman obat, dan bijinya untuk bahan bakar. Besar kemungkinan, di kampung ini pernah tumbuh pohon nyamplung yang besar dan tinggi, sehingga mampu menjadi penanda masyarakat setempat.
            Di masa lalu, kampung ini memiliki langgar kayu berbentuk seperti panggung. Di atas dipergunakan sebagai tempat melakukan shalat, sedang di bawahnya difungsikan sebagai tempat menyimpan bandhosa (keranda mayat) milik kampung. Kalau anak-anak ikut shalat berjamaah, tempat sujudnya yang berupa papan yang ada celah kecilnya. Pada celah-celah papan itu anak-anak malah sering mengintip bandhosa di bawahnya. Mereka tidak merasa takut, hanya menjadi tidak khusuk shalatnya. Sedang anak-anak yang merasa takut, terpaksa menutup mata. Sekarang anak-anak tidak perlu takut lagi, karena langgar itu telah dibangun menjadi bangunan baru bernama, Langgar Mafaza.
Di bidang kuliner lama, KAMPUNG NYAMPLUNGAN juga mempunyai Mbah Mangun Wakin. Menu yang dijual Mbah Mangun Wakin adalah kupat lontong sambel krecek, dibumbui parutan kelapa dan bubuk kacang kedelai. Menu andalan lainnya yaitu ketan juruh santen yang amat lezat. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Wednesday, September 21, 2011

TOPONIM YOGYAKARTA KAMPUNG GUNUNGKETUR

Kampung Gunungketur, dilihat asal katanya dari kata gunung dan ketur. "Gunung" berarti tanah yang tinggi atau yang ditinggikan dari tanah di sekitarnya, dan kata "ketur" berarti suatu tempat tinggi yang dikeramatkan. Jadi, Gunungketur mempunyai arti tempat tinggi yang dikeramatkan.
    Menurut cerita, dahulu pada masa Kadipaten Pakualaman di bawah Sri Pakualam I, di sebelah timur keraton ada gundukan tanah yang tinggi bertrap-trap, kemudian diratakan untuk tempat pemakaman yang kemudian disebut dengan nama Gunungketur. Pemakaman tersebut digunakan untuk memakamkan kerabat Pakualaman, antara lain: BR Rseminten dan BR Purnamasari (garwa ampeyan Pakualam I). (Dharma Gupta dkk, : TOPONIM YOGYAKARTA, 2007)

TOPONIM KOTAGEDE Baluwarti

Kawasan Baluwarti berada sekitar 750 meter di timur laut Pasar Kotagede. Baluwarti merupakan sisa benteng luar Keraton Mataram Islam di Kotagede. Baluwarti di Kotagede jalurnya mulai dari Kampung Baluwarti ke selatan, mengikuti aliran Sungai Manggisan sampai di Dukuh Sareman, kemudian membelok ke barat, lalu berbelok lagi ke utara mengikuti aliran Sungai Gajahwong, sampai di Belehan, kemudian berbelok ke timur, kembali ke Kampung Baluwarti.
    Di kawasan Baluwarti, sisa benteng yang bisa ditemui hanyalah berupa serakan batu putih di sana sini. Batu-batu putih tersebut hampir tidak menyerupai sebuah tanda bekas benteng. Kini, masyarakat mengabadikan untuk nama makam yang berada di kawasan tersebut, yaitu Makam Baluwarti. Demikian juga ketika muncul SD Negeri Kotagede VI, masyarakat lalu menyebutnya dengan SD Baluwarti. Demikian cara masyarakat mengabadikan nama suatu tempat.
    Sejarawan dari Eropa seperti Lors, Rafffles, dan De Graaf pernah melakukan penelitian di Kotagede dan sempat melihat Baluwarti. Mereka menganggap benteng pertahanan Mataram sangat kuat berlapis tiga, sehingga pantaslah kalau Kotagede disebut Kota Benteng atau Kota Bacingah. Benteng lapis pertama disebut cepuri. Benteng lapis kedua disebut baluwarti, atau benteng kota. Sedangkan benteng lapis tiga disebut benteng negara. Denah benteng negara dimulai dari Grojogan ke utara, lalu ke timur sampai Wonocatur, dan dilanjutkan ke selatan hingga Banjardadap. Dari Banjardadap ke barat melewati Kertopaten, dan bersambung kembali ke Grojogan.
    Ketika Panembahan Senopati memerintahkan penduduk untuk membuat bata putih dan bata merah, kejadian tersebut diabadikan dalam cerita rakyat berjudul, Nyethak Banon. Sebagai ibukota Mataram, Kotagede yang dilengkapi dengan tiga benteng sekaligus,  ditambah di sekeliling benteng tersebut dilengkapi jagang. Maka, kombinasi benteng dan jagang membuat Kotagede sangat aman dari ancaman musuh. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE Jebolan Raden Rangga

Jebolan Raden Rangga berada sekitar 350 meter di selatan Pasar Kotagede. Yang dimaksud Jebolan Raden Rangga adalah bagian tembok cepuri sisi utara yang secara fisik terbuka sebesar manusia, sehingga menyerupai gerbang.
    Menurut cerita, dikisahkan tentang Raden Rangga (putera Panembahan Senapati) yang sakti namun nakal. Sehingga suatu ketika akan diberi pelajaran oleh ayahnya, dengan jalan diminta mematahkan jempol ampeyan (ibu jari kaki) Panembahan Senapati. Walaupun sakti, namun sang ayah (Panembahan Senapati) merasakan kesakitan, sehingga selanjutnya Raden Rangga dilempar dengan kakinya.
    Merasa malu karena dilihat orang banyak, maka Raden Rangga meninggalkan Keraton Mataram, namun tidak melalui pintu gerbang, tetapi membenturkan dirinya ke benteng keraton. Akibatnya, benteng keraton berlubang sebesar ukuran manusia. Karena yang menjebol adalah Raden Rangga, maka dinamakan Jebolan Raden Rangga. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE SITUS SENDHANG SELIRAN

Situs Sendhang Seliran berada sekitar 300 meter di barat daya Pasar Kotagede, atau tepatnya di selatan tembok Pasareyan Agung. Sendhang Seliran ini terbagi menjadi dua, yaitu sendhang seliran kakung untuk laki-laki di sebelah utara, dan Sendhang Seliran puteri untuk perempuan di sebelah selatan.
    Menurut penuturan berbagai sumber, sendhang ini disebut seliran karena diselirani (dikerjakan sendiri) oleh Ki Ageng Mataram dan Panembahan Senapati. Namun ada juga yang berpendapat, bahwa disebut seliran karena kolam itu airnya berasal dari makam (selira, berarti badan) Panembahan Senapati.
    Di dalam Sendhang Seliran puteri, dahulu pernah terdapat kura-kura bernama Kiai Dhudha. Kura-kura berwarna kuning keputihan ini pada mulanya ditemukan di  Pantai Samas, Bantul pada tanggal 11 Desember 1973 oleh seorang nelayan setempat. Uniknya, kura-kura tersebut hanya memiliki tiga kaki.
    Temuan ini kemudian oleh Bupati Bantul diserahkan kepada penjaga Kompleks Sendhang Seliran untuk dipelihara. Menurut pihak Keraton Yogyakarta, kura-kura berwarna kuning keputihan adalah jenis satwa yang langka, dan perlu dilindungi. Keanehan ciri-ciri fisik kura-kura tersebut, oleh masyarakat sekitar dianggap binatang yang gaib dan suci. Pada awalnya, di dalam Sendhang Seliran puteri tersebut dipelihara tiga ekor bulus (kura-kura) putih besar-besar. Mereka diberi nama Kiai Dhudha, Kiai Jaka, dan Mbok Rara Kuning. Ketiga kura-kura tersebut sekarang sudah mati. Namun, untuk mengabadikan keberadaan Kiai Dhudha, dibuatlah patung Kiai Dhudha di timur laut Sendhang Seliran kakung.
    Berbeda dengan Sendhang Seliran puteri, di Sendhang Seliran kakung binatang yang dikeramatkan adalah ikan lele putih. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan Kiai Reges. Menurut cerita, keistimewaan Lele Reges ini adalah tidak berdaging namun masih hidup. Dikisahkan, ketika Sunan Kalijaga mengunjungi Panembahan Senapati,  ia dijamu dengan lauk ikan lele. Ikan lele tersebut terasa enak, sehingga Sunan Kalijaga habis seekor. Ketika ditanyakan kepada Panembahan Senapati, bagaimana mengolahnya sehingga lele tersebut terasa enak. Dijawab oleh Panembahan Senapati, bahwa lele tersebut dimasak urip-urip (dimasak dalam keadaan lele masih hidup). Sunan Kalijaga terkejut, dan berkata, “Apa, urip-urip?” Karena kesaktiannya, maka ikan lele yang tinggal kepala dan tulang itu benar-benar menjadi hidup kembali. Oleh Sunan Kalijaga, lele tersebut dilepaskan di Sendhang Seliran, dan diberi nama Lele Reges, yang berarti lele yang hanya terdiri atas kepala dan tulang saja.
    Kini, di Sendhang Seliran kakung masih bisa kita jumpai banyak ikan lele besar yang berada di sana. Namun, apakah ikan lele putih itu keturunan Kiai Reges atau bukan, para peziarah agaknya tak terlalu peduli. Di Kompleks Sendhang Seliran, kini sering dilangsungkan upacara adat tradisional, seperti nyadran, kuthomoro, nawu sendhang, atau suronan mubeng beteng. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE Samallo

Samallo adalah nama kompleks rumah sakit tempat karantina bagi pengidap TBC. Letaknya sekitar 100 meter di barat daya Lapangan Karang. Sebutan Samallo diambil dari nama seorang dokter Belanda, yaitu Dr. L. G. J. Samallo. Dr. Samallo adalah pimpinan sebuah rumah sakit (kini Rumah Sakit Bethesda) yang menjabat di tahun 1942-1949.
    Semula, kawasan Samallo ini cukup ideal, karena jauh dari permukiman penduduk. Meski begitu, masyarakat Kotagede tetap was-was ketika melintasi Samallo. Mereka takut, penyakit TBC akan menular pada dirinya. Dahulu, sekitar 1960 -1980an, anak-anak yang menuju ataupun pulang setelah mandi di Sungai Gajahwong, ketika melintasi kawasan Samallo akan adu lari sekencang-kencangnya, sambil menutupi hidung dan mulut dengan ujung baju. Mereka takut ketularan penyakit TBC. Penjaja makanan keliling yang mampir melayani pembeli di Samallo, bakalan tidak laku ketika masuk Kampung Prenggan. Masyarakat takut membeli makanan yang sudah dijajakan di Samallo.
    Ketika permukiman penduduk sudah padat, mestinya Samallo bukan tempat ideal lagi bagi perawatan penderita TBC. Namun ternyata, kini masyarakat sudah mulai abai. Bahkan, ada beberapa warga Kotagede memeriksakan kesehatannya di Samallo, ketika di Puskesmas Kotagede antrinya panjang. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Sunday, September 18, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG SELOKRAMAN

KAMPUNG SELOKRAMAN berada sekitar 200 meter di sebelah tenggara Pasar Kotagede. Ada banyak pendapat tentang arti nama Selokraman ini. Akan tetapi, hampir semua orang sepakat nama ini berasal dari kata selokromo. Selokromo terdiri dari kata selo dan kromo. Selo berarti batu dan kromo artinya berjodoh. Pendekatan ini mengacu pada batu pipisan yang terdiri dari batu landasan dan batu pipisan, orang Kotagede menyebut watu gandhik. Konon, dahulu ada sepasang batu pipisan yang dikeramatkan di kampung ini. Batu gandhik tersebut dipercaya mempunyai tuah mampu menyembuhkan penyakit. Banyak orang luar Kotagede datang untuk berobat dengan menggunakan khasiat batu gandhik tersebut. Kabar terakhir mengatakan, batu gandhik tersebut sudah dimasukkan ke sumur oleh ahli warisnya.
            Akan tetapi ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa Selokromo itu adalah nama seorang tokoh yang disegani yang pernah tinggal di tempat ini. Sayang, tak ada catatan akademik ataupun cerita tutur yang bisa mengungkapkan, siapakah sosok Selokromo tersebut.
            Dari Kampung Selokraman, masyarakat juga mengenal sosok Mbah Mangil, yaitu sesepuh kampung tempat orang bertanya segala hal tentang kehilangan barang. Semua tamu pengunjung rumah Mbah Mangil, jika pulang selalu membawa barang berupa garam untuk syarat penemuan barang yang hilang.
            KAMPUNG SELOKRAMAN ternyata juga merupakan salah satu pusat gerakan sosial keagamaan dan kemasyarakatan di Kotagede. Dari kampung ini lahirlah tokoh-tokoh yang mampu berbicara di pentas nasional dan internasional, seperti Prof. KH Abdul Kahar Muzakhir, seorang founding father bangsa Indonesia, penanda tangan Piagam Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Beliau juga merupakan perintis berdirinya Universitas Islam Indonesia (UII), dan dipercaya menjabat sebagai rektor yang pertama. Nama beliau pun abadikan untuk nama jalan di utara Kampus UII Cik Ditiro dan nama Auditorium Utama di Kampus UII Jalan  Kaliurang, Yogyakarta.
            Kebesaran orang itu terletak pada kebersahajaannya. Begitulah yang tercermin pada sosok Prof. KH Abdul Kahar Muzakhir. Kalau berangkat ke Kampus UII, Pak Kahar, begitu ia biasa disebut, selalu naik andong dari pojok Pasar Kotagede dengan membawa payung, yang ketika hari cerah juga berfungsi sebagai teken (tongkat). Sepulang dari kampus UII, beliau tak jarang menyempatkan diri membeli gorengan di warung Mbok Joyo di pinggir Pasar Kotagede. Gorengan tersebut kadang-kadang dihidangkan untuk menjamu tamu-tamu penting yang kadang berkunjung ke rumahnya. Tamu yang sering singgah di rumah Pak Kahar di antaranya adalah Perdana Menteri Indonesia ke 6 (periode 1951-1952), DR. Soekiman Wirjosandjojo. Begitu bersahajanya, beliau ini kadang hanya mengenakan sarung dan kaos oblong kalau berada di rumah Pak Kahar. Kehidupan bersahaja seperti inilah yang sekarang sulit kita temui dari para pemimpin negeri ini.
            Selain Pak Kahar, di KAMPUNG SELOKRAMAN juga pernah lahir tokoh Kyai Amir. Beliau adalah pendiri Syarikatul Mubtadi, yaitu organisasi keagamaan lokal yang di kemudian hari ketika Muhammadiyah di Kauman mulai menyebar, para aktivis Syarikatul Mubtadi beralih aktif ke Muhammadiyah sebagai basis perjuangannya. Kyai Amir bersama beberapa temannya menggagas berdirinya Masjid Perak di Prenggan Kotagede. Hal ini disebabkan karena praktik keagamaan di Masjid Gede Mataram tidak sesuai dengan prinsipnya. Contohnya, khotbah Jum’at di Masjid Gede Mataram disampaikan dalam bahasa Arab tetapi sangat terbatas tema hafalan materinya, cuma satu dua. Kyai Amir dan kawan-kawan menginginkan khotbah disampaikan dalam bahasa Jawa yang bisa dipahami masyarakat luas.
            Di kemudian hari, meskipun Kyai Amir mendukung gerakan Muhammadiyah di Kotagede, beliau juga mendirikan Yayasan Ma’had Islami yang bergerak di bidang pendidikan keagamaan dan umum. Ja’far Amir, adalah salah seorang anaknya yang banyak menulis buku pendidikan agama untuk pegangan di sekolah dasar. Sedangkan Wardan Amir, anaknya yang lain, mengembangkan industri rumahtangga marching band yang melayani lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah, mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi.
            KAMPUNG SELOKRAMAN juga melahirkan nama KH As’ad Humam, seorang pencetus metode Iqro’, yaitu cara belajar membaca Al-Quran bagi pemula secara sistematis, terdiri 6 jilid tipis, secara klasikal, ditekankan pada tajwid dan tartilnya. Metode Iqra’ lebih menekankan dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Santri Aktif). Kalau sudah tamat menguasai 6 jilid, santri sudah diperkenankan membaca Al-Quran. Metode tersebut menggantikan metode lama bagdadiyah yang dirasa lebih lama. Sekarang, metode Iqro’ banyak dipergunakan sebagai pegangan di berbagai tempat yang memiliki Taman Pendidikan Al-Quran di seluruh tanah air, bahkan hingga manca negara, di antaranya di Malaysia, Brunei Darussalam dan bahkan Arab Saudi sendiri.
            Di bidang kepeloporan, KAMPUNG SELOKRAMAN juga melahirkan nama Jawad Humam. Ketika di Kotagede masyarakat pengrajin imitasi baru mengenal sepuh emas dan perak, Jawad Humam mengenalkan alat chrom pernikel, yang mampu menggantikan usaha sepuh, dan di Kotagede sempat menjadi trend (1978), semua usaha jasa penyepuh beralih ke chrom pernikel.
            Tidak hanya sepuh chrom pernikel, Zahar Humam, kakak Jawad Humam, membawa teknik baru plepet perak dengan menggunakan silinder baja (1999). Semula, perajin perak di Kotagede menggunakan cara bakar dan tempa untuk menghasilkan lembaran perak. Dengan teknik plepet perak, cara lama kemudian ditinggalkan. Teknik plepet perak Zahar Humam ini tidak menimbulkan kebisingan suara prapen. Kelebihan lainnya, teknik plepet ini bisa menghasilkan lembaran perak secara cepat. Karena kelebihan-kelebihan teknik temuan Zahar Humam ini, banyak perajin perak Kotagede sekarang telah beralih ke teknik plepet perak. Kemudian Jumanuddin Humam, sudah 50 tahun lebih sebagai pengusaha kerajinan imitasi khusus hiasan pengantin tradisional, yang membuka kios di Pasar Beringhardjo, Yogyakarta. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG BASEN

KAMPUNG BASEN terletak sekitar 600 meter di timur laut Pasar Kotagede. Ada yang menuturkan, di Kampung Basen ini pernah menjadi tempat persembunyian Kiai Basah Prawirodirjo, salah seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro. Keberadaan Kiai Basah di kampung ini menjadikan orang menyebut kampung ini Basahan. Kemudian lama kelamaan terjadi pelarutan pengucapan, Basahan menjadi Basen.
Nama Basen juga dipergunakan untuk menyebut beberapa tempat yang berada di sekitar KAMPUNG BASEN. Seperti PKU Basen untuk menyebut PKU Muhammadiyah, Pegadaian Basen untuk menyebut pegadaian negeri yang sesungguhnya berada di Kampung Patalan. Juga untuk menyebut nama Stasiun Basen, untuk stasiun kereta api yang dahulu berada di beranda gedung SMP Negeri IX Kotagede, yang jalur relnya menuju arah Plered.
            Demikian juga masyarakat salah kaprah menyebut perumahan Basen, perumahan yang berada di Kampung Tinalan. Di Jalan Ngeksigondo, kernet bus kota akan berteriak: “Basen! Basen!,” untuk memberi informasi pada penumpang yang turun di perempatan Gedongan. Masyarakat Perumahan Sendok Indah pun mengaitkan kata Basen pada nama kawasan perumahannya. Sendok Indah dari kata Basen Ledok Indah, karena kawasannya memang bekas jagang luar Keraton Mataram, berupa bentangan ledok hasil budidaya manusia dan alam.
            Di KAMPUNG BASEN juga dijumpai perajin beraneka ragam. Ada perajin perak, tembaga, imitasi, kuningan, tanduk, penyu, tulang sapi, kayu dan blek. Disebabkan keanekaragamannya, juga riwayat sejarah awal pemasarannya, KAMPUNG BASEN dipilih sebagai percontohan model Living Museum Kerajinan di Kotagede. Di tahun 2003, kantor pelayanan awal bagi pengunjung yang hendak berkunjung ke KAMPUNG BASEN, semacam Pusat Informasi dan Pengendali “Living Museum Kerajinan”, diresmikan oleh Walikota Yogyakarta Herry Zudianto.
            Tahun 2006, pusat informasi tersebut dihajar gempa sehingga koleksinya banyak yang rusak, termasuk poster-poster periodesasi sejarah tahun perkembangan disain kerajinan perak di Kotagede. Di KAMPUNG BASEN masih dijumpai perajin alat navigasi perkereta apian tradisional. Alat navigasi yang diproduksinya antara lain lentera, eblek dan peluit.
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM YOGYAKARTA Kampung Ngampilan

Ngampilan adalah kampung tempat bermukim kelompok abdi dalem pembawa ampilan dalem. Sebelum Sultan duduk di singgasana, di bangsal Manguntur Tangkil harus dipersiapkan dahulu oleh  para abdi dalem yang nama depannya memakai kata Wignyo dan Dermo. Wignyo dan Dermo tersebut menunjukkan jabatan abdi dalem ampilan. Abdi dalem ampilan bertugas membawa perlengkapan upacara misalnya pedang, tameng, lar badak, panah, tombak, dll.
                Nama wignyo dan dermo mengingatkan kepada eksistensi Sultan ketika berada di singgasana. Wignyo artinya hendaknya Sultan pandai, bisa, dan mampu duduk di singgasana untuk dihadap kawula atau rakyatnya. Saderma yaitu dengan tulus Sultan menjadi wakil utusan Tuhan Yang Maha Esa dan sanggup menata agama. Dahulu, abdi dalem tersebut sesudah diangkat kemudian diberi sawah dan pekarangan maupun rumah, dan bertempat tinggal  di kampong menjadi satu golongan.
                Di Kampung Ngampilan ini terdapat Dalem Pangeran, yaitu Dalem Mangkudiningratan, yaitu tempat tinggal GBPH Mangkudiningrat, putra ke 13 Sultan Hamengku Buwono VIII dari garwa BRAy Pujoningdiah. Bangunan ini selain sebagai tempat tinggal, juga digunakan untuk sekolah dan perkantoran.  Tahun 1955-1969, bagian pendapa untuk sekolah Mualimat. Tahun 1970-1988, digunakan untuk Sekolah Akademi Kesejahteraan Keluarga. Tahun 1990-an, bagian pendapa dan pringgitan digunakan untuk Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIK) Wira Setya Mulya. (Darma Gupta, dkk. : TOPONIM YOGYAKARTA, 2007)

Thursday, September 15, 2011

TOPONIM KOTAGEDE Dalem Prayadranan



Dalem Prayadranan berada sekitar 750 meter di barat laut Pasar Kotagede, persisnya di Jalan Mandarakan 5, Kelurahan Prenggan Kotagede. Dalem Prayadranan ini adalah salah satu wujud rumah Kalang yang berada di sisi dalam Sungai Gajahwong.
            Nama Prayadranan diambil dari nama pemilik rumah, Prayadrana, beliau adalah pengusaha kalang yang masih ada kaitan kerabat dengan Tembong. Dalem Prayadranan ini berdiri tahun 1912. Hal ini sesuai dengan angka tahun yang tertera di kuncungan rumah. Ketika pemiliknya tidak menempati rumah itu, Prayadranan ditempati oleh sejumlah kerabat dan pengindung. Di antara yang pernah tinggal di Prayadranan adalah Edy Sud, pelawak senior yang malang melintang di panggung hiburan.
            Sebagai ruang publik, Dalem Prayadranan memiliki sejarah panjang. Berbagai organisasi masyarakat di Kotagede, termasuk juga Partai Komunis Indonesia, pernah menggunakan Ndalem Prayadranan ini untuk kegiatan mereka. Dalem Prayadranan di tahun 1960-an pernah menjadi Kantor Kemantren atau Kantor Kecamatan Kotagede. Kemudian juga pernah menjadi Kantor Komando Rayon Militer Kotagede.
            Pada tahun 1980 – 1990 an, Dalem Prayadranan menjadi tempat berbagai kegiatan kesenian masyarakat Kotagede. Pentas wayang kulit, festival teater, dan ketoprak adalah sebagian kesenian yang pernah tampil di Dalem Prayadranan. Hal ini terjadi terutama setelah Dalem Sopingen jarang dipakai tempat pentas lagi.
            Kini, Dalem Prayadranan menjadi hak milik HM Muslim Anwarpranata. Untuk menopang biaya pemeliharaan yang tinggi, dahulu pihak ahli waris menyewakan tempat ini untuk guest house, gedung resepsi pengantin, maupun gedung pertemuan. Namun, gempa bumi dahsyat 27 Mei 2006 lalu akhirnya menghentikan segalanya.
            Dalem Prayadranan kini telah porak poranda. Yang tersisa hanyalah kesiapan kita untuk kehilangan dalem Prayadranan. Karena, di bawah kuncungan  bangunan telah dipasang kain bertuliskan: Dijual! (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE TUMENGGUNGAN

Kawasan Tumenggungan berada sekitar 420 meter di barat laut Pasar Kotagede. Secara administratif, kawasan Tumenggungan berada di RT 04 RW 04 wilayah Kampung Citran. Tumenggungan ini adalah kawasan rumah kediaman Tumenggung Mertoloyo. Namun, data tentang siapa Tumenggung Mertoloyo ini tidak begitu banyak diketahui. Hanya, di Dalem Tumenggungan inilah dahulu pusat pemerintahan Kotagede wilayah Kasunan Surakarta berada.
            Di kawasan Tumenggungan tersebut terdapat kediaman Bahuwinangun, yaitu seorang saudagar yang di masa lalu memiliki konsesi di bidang pengadaan kain mori. Bahuwinangun selain menjadi abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, juga merupakan saudagar emas dan intan di Kotagede. Bahuwinangun sadar betul akan pentingnya pendidikan. Karena itu salah satu anaknya, yaitu Kasmat, ia sekolahkan di negeri Belanda.
            Sebagaimana anak-anak bangsa Indonesia lainnya yang belajar di luar negeri, Kasmat Bahuwinangun memilih pergerakan nasional sebagai alat perjuangan memerdekakan bangsanya. Tahun 1943, Kasmat Bahuwinangun memperoleh gelar Mr (Mister) dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Sepulang ke tanah air, Kasmat Bahuwinangun menjadi Pengurus Besar Muhammadiyah, juga anggota Pengurus Besar Partai Islam Indonesia, serta menjadi anggota delegasi Majelis Islam A’la Indonesia (MAII) di Jepang.
            Bersama dengan Abdul Kahar Muzakhir dan Faried Ma’roef, Mr Kasmat ditangkap oleh Belanda pada masa Perang Dunia II. Mereka bertiga dijatuhi hukuman mati, tetapi berhasil selamat karena pemerintahan Belanda dijatuhkan oleh Jepang. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia memberikan penghargaan sebagai salah seorang perintis kemerdekaan. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG DOLAHAN

Kampung Dolahan berada sekitar 200 meter  di sebelah timur Pasar Kotagede. Kampung Dolahan merupakan tempat kediaman seorang tokoh yang bernama Kyai Amin Abdullah. Beliau merupakan seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani. Masyarakat menyebutnya Lurah Dullah. Status lurah pada waktu itu adalah merupakan struktur kepangkatan di lingkungan abdi dalem Keraton Yog­yakarta. Lurah Dullah dimakamkan bersama kaum kerabatnya di Kuburan Dolahan.
            Kampung Dolahan menyimpan mitos yang masih dipegang sebagian masyarakat. Mitos itu berbicara tentang tumpes kelor. Tumpes kelor itu sendiri dipahami sebagai malapetaka kematian seakar-akarnya akibat melanggar pantangan. Sayangnya, mitos tersebut hanya mengambil satu model kejadian, kemudian diyakini seterusnya.
            Ceritanya, ada sebuah keluarga yang sedang punya hajat menikahkan anaknya. Untuk meramaikan perhelatan, keluarga tersebut nanggap kesenian wayang orang. Beberapa hari kemudian banyak orang yang meninggal dunia, terutama yang terlibat punya hajat maupun pemain keseniannya. Peristiwa tersebut sama sekali tidak ada yang mengaitkan de­ngan epidemi pes yang melanda Kotagede pada waktu itu.
            Hanya karena lontaran kesembronoan orang yang mengatakan, tumpes kelor tersebut terjadi karena ada sebuah pantangan yang dilanggar, yaitu tidak diperkenankan menggantung gong kalau menyelenggarakan kesenian yang mempergunakan seperangkat gamelan. Lontaran orang itu ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, sehingga masyarakat menciptakan ketakutannya sendiri. Kini, tahayul atau gugon tuhon tersebut sudah berangsur menghilang dari Kampung Dolahan.
            Kesenian yang berkembang di kampung ini  adalah orkes keroncong (dengan penyanyi keroncong kaliber nasional Subardjo HS), mocopat, panembromo, dan shalawatan.
            Di Kampung Dolahan masih ada juga orang yang percaya adanya hantu penunggu kampung. Sebagian masyarakat menyebut sing mbaurekso Kampung Dolahan bernama Mbah So Dikromo. Mbah So Dikromo ini di saat-saat tertentu menampakkan wujudnya. Bentuknya berupa orang tua memakai iket tali dan mengenakan surjan. Namanya sering menjadi sebutan orang dikala barang-barang sepelenya ketlingsut (hilang).
            Selain Mbah So Dikromo, ada satu lagi sosok yang dipercaya sebagai sing mbaurekso atau penunggu tempat-tempat angker di Kotagede. Sosok itu adalah Kiai Koso. Ketika menampakkan diri, sosok Kiai Koso itu wujudnya tinggi sekali.
            Dahulu, di selokan yang menjadi batas Kampung Dolahan dan Pandean, ketika malam sering terdengar suara burung mistis keblak mengibaskan sayapnya. Masyarakat menggambarkan binatang lelembut tersebut sebesar kalkun dan punya sayap. Memedi keblak tersebut sangat populer di waktu dulu. Sekarang, selokan tersebut telah ditutup untuk akses jalan antar kampung.
            Kampung Dolahan juga dikenal sebagai kampung festival. Banyak perhelatan tingkat regional dilangsungkan di kampung ini. Diantaranya, di tahun 1998 perhelatan Festival Seni Kampung, cikal bakal Festival Kotagede dilangsungkan di kampung ini dan dikunjungi perwakilan Bank Dunia untuk kawasan Asia dengan melakukan Rambling Through Kotagede selama 7,5 jam, menyaksikan lima potensi unggulan di Kotagede.
            Sementara di tahun 2002, bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, di kampung ini dilangsungkan Festival Makanan Tradisional yang diikuti oleh pengusaha hotel maupun makanan dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
            Kemudian di tahun 2008, Dolahan termasuk 10 kampung di Kota Yogyakarta yang dipilih menyelenggarakan Babad Kampung oleh panitia Festival Kesenian Yogyakarta. Sedangkan tahun 2009 dan 2010, diteruskan dengan program “Yogyakarta Kampong Field School” bersama 10 kampung eks babad kampung. Acara ini berlangsung menjalin kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Kristen Duta Wacana, dan Australia National University, Canberra, Australia. Pada 2009, bekerjasama dengan Kantor Urusan Internasional Universitas Gadjah Mada, Kampung Dolahan menerima kunjungan tamu dari kawasan Asia-Pacific, dalam acara International Summer Student Program for a Better Understanding Among Nations.
            Sedangkan di bulan Juli 2010, Kampung Dolahan menyelenggarakan Festival Keroncong Kampung yang diikuti 12 kampung. Di antaranya dari Kampung Sorosutan, Rejowinangun, Sewon, Kalasan, Mangkuyudan, Nyutran, Gowongan, dan beberapa kampung di sekitar Kotagede.
            Dan di bulan Oktober 2010, Darwis Khudori, setelah lama meninggalkan Kotagede dan menetap di Perancis, ia datang di Kampung Dolahan sebagai inisiator dan koordinator acara Diversity In Globalised  Society, dengan membawa 75 orang tamu peserta The Role of African and for a Sustainable World 55 Years After Bandung Asia-Africa Conference 1955, yang mengadakan jamuan makan malam sambil menonton Tarian Karonsih dan menikmati alunan orkes keroncong dari Kampung Dolahan. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Tuesday, September 13, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG TOPRAYAN

Kampung Toprayan berada sekitar 275 meter di barat Pasar Kotagede. Kawasan yang tidak seberapa luas ini diapit dua kampung. Di sebelah barat oleh Kampung Krintenan, dan di sebelah timur oleh Kampung Kudusan. Kampung Toprayan diperkirakan merupakan tempat kediaman Mertoproyo, seseorang yang pernah hidup di zaman Mataram. Status dan kedudukan Mertoproyo sulit dinarasikan, disebabkan sedikitnya sumber data yang bisa mengungkapkan.
            Kemudian dari data yang sedikit tentang Kampung Toprayan itu, diketahui memiliki seorang perajin drig bernama Herman. Perajin drig adalah sebuah profesi yang langka di Kotagede, dimana relasinya adalah para perajin juga.  Drig merupakan alat reproduksi untuk mendapatkan hasil yang banyak dalam waktu cepat. Biasanya dipergunakan untuk kerajinan kuningan dan tembaga. Sedangkan perak masih mengandalkan tatah ukir karena harga bahan dasarnya mahal. Logam kuningan dan tembaga, kalau dengan cara tatah ukir, jatuhnya harga akan mahal. Maka dipergunakan alat drig. Drig terbuat dari besi, biasanya mempergunakan besi bekas rel kereta api, kemudian ditatah ukir secara negatif, sesuai gambar yang diinginkan.
            Para perajin kuningan dan tembaga yang memperoleh pesanan besar, akan memanfaatkan jasa Herman untuk membuat drig. Profesi Herman di Kampung Toprayan menjadi pekerjaan langka dan merupakan satu-satunya di Kotagede. Sejak tahun 1970 an ke atas, duplikat pesanan drig disusun sangat rapi di rak-rak bengkelnya, sebagaimana sebuah dokumentasi pribadi, ketika dia mengukir, seperti menitipkan jiwa raganya terukir di besi tersebut. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG CELENAN



Kampung Celenan berada sekitar 350 meter di barat daya Pasar Kotagede. Nama Celenan diambil dari nama Kiai Cilen, yaitu seorang tokoh berpengaruh di zaman Mataram. Kiai Cilen pernah tinggal di tempat ini, dan keberadaan makam Kiai Cilen bisa ditemukan di Kuburan Semoyan. 
  Kampung Celenan terkenal dengan rumah-rumah milik para saudagar dan raja dagang yang berjaya di awal abad kedua puluh. Bangunannya merupakan perpaduan budaya Jawa-Eropa. Ketika di Eropa muncul trend bangunan  Neo-Barok maupun Art Deco, masyarakat kaya di Kotagede juga memilih trend bangunan tersebut.         
            Beberapa ciri bangunan tersebut antara lain, berupa pilar besar, relung dan ornamen kaca patri bermotif geometris, dengan dinding tinggi, demikian pula pintu dan jendela-jendelanya, sebagaimana rumah Den Surat (kini rumah milik Rudi Pesik), Haji Bakar, Dr. Rasyidi, dan Rojikan.
            Di Kampung Celenan masih terselip satu bangunan unik yakni langgar dhuwur, yang berarti tempat ibadah yang ditinggikan. Bangunan ini adalah sisa peninggalan masuknya arsitektur Islam dalam langgam rumah tradisional Jawa. Langgar dhuwur ini milik keluarga Dalhar Anwar (alm) yang berfungsi sebagai tempat menjalankan ibadah agama Islam untuk keluarga maupun lingkungan terbatas. Untuk memenuhi fungsi sakral tersebut, dalam tatanan rumah, langgar dhuwur terletak di depan-barat. Titik ini adalah sebuah tempat yang paling terhormat dan suci, karena ada di depan dan pada arah kiblat. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Monday, September 12, 2011

TOPONIM YOGYAKARTA Kampung Klitren



Dinamakan Klitren karena pada zaman Belanda di sekitar stasiun kereta api Lempuyangan banyak orang bekerja sebagai pengangkut barang-barang, baik yang akan dinaikkan ke dalam kereta api maupun barang yang akan diturunkan dari kereta api. Orang-orang yang pekerjaannya mengangkut barang-barang tersebut dinamakan kulitrain. Oleh karena orang Jawa sulit mengucapkan kata kulitrain, maka kata tersebut diucapkan klitren. Sehingga kampong di sekitar stasiun kereta api Lempuyangan diberi nama Kampung Klitren.
(Dharma Gupta, dkk. TOPONIM YOGYAKARTA, 2007)

TOPONIM YOGYAKARTA Kampung Gondolayu

Penamaan Kampung Gondolayu menurut cerita lisan, yaitu bahwa pada zaman Belanda di kampung ini ada seorang gadis cantik yang membuat hati para abdi dalem keratin dan pemuda jatuh hati. Dari sekian banyak pemuda yang berhasil merebut hati gadis itu adalah Van der Lay, perjaka keturunan Belanda. Ia kemudian memperistri gadis tersebut. Adanya panggilan tugas yang mengharuskan Van der Lay kembali ke Belanda, maka ia membawa istri dan anaknya. Perasaan kehilangan orang yang cantik (ayu) yang telah dibawa pergi (digondol),  maka kampung asal gadis tersebut dinamakan Gondolayu (anggondol ayu).
Namun, ada dua sumber yang berbeda mengenai penamaan Gondolayu. Pertama, Gondolayu berasal dari kata setubanda layu, artinya bendungan atau jembatan yang sangat panjang. Kedua, Gondolayu berasal dari kata gondo dan layu,  yang artinya mambu gondone bathang, bathang porang hanyut. Nah, secara administrative, Kampung Gondolayu ini berada di wilayah Kecamatan Jetis.
(Dharma Gupta, dkk. TOPONIM YOGYAKARTA, 2007)

Wednesday, September 7, 2011

TOPONIM YOGYAKARTA Kampung Ketandan

http://rcm.amazon.com/e/cm?t=widgetsamazon-20&o=1&p=8&l=bpl&asins=B000VDTLYC&fc1=000000&IS2=1&lt1=_blank&m=amazon&lc1=0000FF&bc1=000000&bg1=FFFFFF&f=ifrKetandan berasal dari kata ka-tanda-an, yang berarti tempat seorang tanda atau penarik pajak. Artinya, pada zaman dahulu kawasan ini adalah tempat bermukim para penarik pajak dengan keluarga mereka. Akan tetapi, sekarang penduduk Ketandan orientasinya didominasi oleh perdagangan perhiasan emas berlian. Selain itu juga ada beberapa jenis ragam dagangan lain, di antaranya peralatan besi, plastik, ramuan tradisional, barang-barang kelontong, dan pakaian.
Rumah-rumah warga China di kawasan tersebut di sebelah utara Pasar Beringharjo, dibangun pada abad ke-19 akhir dan abad ke-20 awal. Rumah-rumah tersebut dibangun menghadap ke jalan, dengan model ruko atau shophouses bercorak arsitektur campuran; yakni China, Indiesch, dan tradisional Jawa. Corak arsitektur China dapat dilihat dari model bubungannya yang termasuk kategori Ngang San. Dipadukan dengan model atap pelana (Jawa), ragam hias (stilisasi bunga, binatang, dan huruf-huruf China). Selain itu, rumah-rumah tersebut juga dilengkapi dengan tempat persembahan kepada leluhur. Pengaruh Indiesch dapat dilihat dari keberadaan pilar-pilar bergaya Eropa, dinding tebal, dan langit-langit tinggi. Dilihat dari tipologinya, di Ketandan ada tipe rumah, antara lain: rumah satu lantai, rumah dua lantai tanpa teras, serta rumah dua lantai dengan teras dan berpagar.
Pola tata ruang rumah China di kampung Ketandan berkorelasi dengan peruntukan bangunan, terutama untuk kepentingan perdagangan. Dengan demikian, ruang depan digunakan untuk kepentingan perdagangan, ruang tengah sebagai kamar tidur, ruang belakang untuk dapur dan kamar mandi. Lantai atas untuk kamar, dan gudang untuk barang. Sehingga di langit-langitnya sering ditemui ada alat katrol yang berfungsi untuk menaikkan barang-barang dagangan.
Sehubungan dengan fungsi bangunan sebagai tempat aktivitas perdagangan, sudah barang tentu shophouses di Ketandan mempunyai nama. Dahulu nama-nama yang dipakai kebanyakan adalah nama China dan ditulis dengan aksara China. Akan tetapi, saat ini toko-toko tersebut sudah menggunakan nama-nama lokal. Sedang nama lama dengan huruf dan bahasa China ditutup, atau disesuaikan dengan bahasa Jawa atau Indonesia. Sebagai contoh, nama hong diganti naga. Hal ini tentunya berkaitan dengan proses marjinalisasi etnis China pada masa Orde Baru. Juga semakin intensifnya proses interaksi sosial budaya dan pembauran di lingkungan masyarakatnya.
Secara administratif, Kampung Ketandan berada di wilayah Kecamatan Gondomanan. Kampung Ketandan dikelilingi oleh jejalur (paths) sebagai ruang sirkulasi untuk fasilitas fisik di dalam dan di luar kawasan. Kampung Ketandan dibelah oleh jalur jalan Ketandan Kidul-Ketandan Lor-Ketandan Kulon-Ketandan Wetan.
Kondisi saat ini, rumah-rumah China di Ketandan ada beberapa yang mengalami restorasi, perkembangan, dan perubahan. Restorasi bangunan pada prinsipnya akan bernilai dan tetap terjaga kesinambungannya, apabila dilakukan dengan mempertimbangkan upaya aktualisasi potensi bangunan tanpa harus mengasingkan diri dari lingkungannya. Dengan demikian, perubahan yang terjadi masih kontekstual dengan lingkungannya. (Dharma Gupta dkk, TOPONIM YOGYAKARTA, 2007)

Tuesday, September 6, 2011

TOPONIM YOGYAKARTA Kampung Pengok

Nama pengok berasal dari kata mempeng mbengok yang kemudian diucapkan Pengok. Kecuali itu ada juga yang mengatakan, dinamakan Pengok karena di kampung itu terdapat bengkel kereta api. Untuk mengatur jam kerja, maka perusahaan membuat suatu peluit api dan mampu menimbulkan suara yang sangat nyaring. Peluit uap tersebut bunyinya Ngook, sehingga setiap hari bunyinya “Ngook . . . Ngook . . . Ngook”. Oleh karena itu tempat tinggal para pekerja stasiun itu diberi nama Pengok.
Jalan Pengok pada tahun 1997 diganti namanya menjadi jalan Kusbini. Penggantian ini untuk mengenang dan menghargai jasa Kusbini yang pernah tinggal di jalan itu, sebagai komponis/seniman musik keroncong. Jalan Kusbini dimulai dari simpang tiga Jalan Dr Wahidin Sudirohusoda ke timur sampai simpang tiga Jalan Mojo-Jalan Munggur.
(Dharma Gupta dkk. : TOPONIM YOGYAKARTA, 2007)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG TRUNOJAYAN

Banyak yang menghubungkan toponim ini dengan bangsawan Madura, Trunojoyo, musuh besar Amangkurat I. Namun, keberadaan Trunojoyo di kampung ini tidaklah sesuai dengan zaman, karena Trunojoyo hidup di masa pusat pemerintahan Kerajaan Mataram-Islam sudah berada di Plered. Menurut seorang sesepuh Kampung Trunojayan, Purbo Sasmito (Alm), nama Trunojayan berasal dari leluhur kampung tersebut, yaitu Kyai Taruno Ijoyo. Beliau adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro yang tinggal dan menetap di kampung ini.
Sebelum pendapa-pendapa di Trunojayan dijual, boleh dikata Trunojayan adalah kampung heritage. Dahulu sempat membentuk klaster rumah tradisional, bersambung sampai di Kampung Pekaten. Sayang sekali, entah karena desakan ekonomi, persoalan waris, ingin suasana baru atau ketidak pedulian pelestarian, pendapa-pendapa itu satu demi satu tercerabut dari tempatnya. Diawali dari pendapa Sopingen, pendapa Kanthil, dan disusul dua pendapa di timur Masjid Perak. Kini, sebutan Trunojayan sebagai kampung heritage boleh jadi tinggal kenangan.
Di masa lalu, anak-anak banyak menyimpan kenangan terhadap keberadaan pendapa tersebut. Bila musim layang-layang tiba, anak-anak memanfaatkan tiang-tiang pendapa itu untuk nggelas (melapisi benang dengan serbuk kaca). Alat penggelas adalah lem ancur dan sari pati bubuk kaca yang direbus. Kelos benang dimasukkan ke ramuan tersebut, kemudian diulur keliling tiang-tiang pendapa. Setelah kering barulah digulung di kaleng cat. Panjang benang bisa mencapai 1000 yard. Benang yang sangat terkenal pada waktu itu adalah Cap Lar dan Cap Kambing. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

Monday, September 5, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG PRENGGAN

Kampung Prenggan berada sekitar 275 meter di sebelah barat laut Pasar Kotagede. Ada yang mengatakan, Prenggan merupakan tempat tinggal Raden Rangga, sehingga tempat kedudukannya sebagai "pa-rangga-an", yang dibaca luluh menjadi "prenggan". Versi lain mengatakan, Prenggan diambil dari nama abdi dalem juru kunci Purwangga, yang setelah meninggal digantikan oleh Raden Amatdalem Sopingi.
Yang menarik dicatat, dari kampung Prenggan inilah titik percik perkembangan Nahdliyin di Kotagede bermula. Di tahun 1970 an, di pojok pertigaan kawasan Tanjung (sekarang Jalan Rangga), hanya terdapat sisa rumah yang hancur dan sebuah sumur mati. Dari rumah kosong itulah kemudian Kiai Asyhari merintis PONDOK PESANTREN NURUL UMMAH.
Di sisi yang lain, Abdul Muhaimin, warga asli Prenggan, sambil kuliah di IAIN Sunan Kalijaga sekaligus nyantri di Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak Yogyakarta, di kemudian hari juga mendirikan pondok pesantren khusus putri, bernama Nurul Ummahat. Kedua pondok pesantren tersebut mengalami perkembangan pesat ikut memberi khazanah warna Kotagede di bidang pendidikan keagamaan. Pondok Pesantren Nurul Ummah, mampu membeli dan membangun tanah-tanah sekitar untuk bangunan sekolah dan asrama santri. Sementara, KH. Abdul Muhaimin dari Pondok Pesantren Nurul Ummahat, mampu tampil sebagai leader, didaulat sebagai Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman Indonesia, di mana kelas pergaulannya sudah bertaraf internasional. Di rumahnya, dia masih peduli menerima tamu-tamu untuk memecahkan persoalan umat, kemasyarakatan dan keagamaan. Serta di berbagai forum sering tampil sebagai nara sumber di bidang kebudayaan.

(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG GEDONGAN

Kampung Gedongan terletak sekitar 800 meter di sebelah timur laut Pasar Kotagede. Secara administratif, Kampung Gedongan berada di wilayah Kelurahan Purbayan. Gedongan berasal dari kata "gedong", yang berarti bangunan dengan fungsi tertentu. Versi berbeda mengatakan, nama Gedongan berasal dari nama seorang tokoh di zamana Mataram yang pernah bermukim di tempat tersebut. Tokoh tersebut yaitu Kiai Gedong, orang Pajang yang lari dan kemudian memihak dan bermukim di Mataram. Diberi nama Kiai Gedong karena beliau adalah abdi dalem yang bertugas menjaga gedong pusaka Keraton.
Setelah perdikan Mataram berubah menjadi kerajaan, dan Danang Sutawijaya menobatkan dirinya bergelar Panembahan Senopati, penerus takhta Pajang pun memaklumatkan perang. Muncullah front poros peperangan Pajang-Mataram. Kiai Gedong ternyata berpihak pada Mataram, dengan cara menyelundupkan senjata untuk prajurit Mataram. Dari sisi Mataram Kiai Gedong adalah pahlawan, tapi dari pihak Pajang dia adalah pengkhianat. Kyai Gedong pun ditangkap penguasa Pajang, dan dihukum mati. Jasadnya dikubur di daerah Kotagede, daerah yang kini diabadikan untuk nama sebuah kampung, yaitu Kampung Gedongan.
Ada hal menarik yang perlu dicatat dari Makam Gedongan. Pada pintu gerbang makam yang bertuliskan Makam Gedongan, tidak menyebut nama Kiai Gedong. Padahal, rintisan awal keberadaan makam tersebut karena adanya makam Kiai Gedong. Pada gentan atau kapling makam Kiai Gedong dijumpai tiga buah kubur. Menurut penuturan juru kunci makam, Tomo Semedi (87), kijing atau nisan di tengah itu adalah kubur Kiai Gedong, sedang yang mengapit di kanan adalah kubur lincaknya, dan di samping kiri adalah kubur busananya.

Ceritanya, Kiai Gedong ketika menjalani hukuman mati, tidak pernah mati-mati. Setiap kali jasadnya menyentuh tanah, ia hidup lagi. Akhirnya dicari upaya tubuhnya diletakkan dianjang-anjang sebuah lincak agar tidak menyentuh tanah. Setelah benar-benar mati, jasad, lincak maupun busananya dimakamkan di masing-masing liang kubur.
Ketika lingkungan makam Kiai Gedong tersebut masih berupa karang pategalan atau pekarangan milik penduduk setempat, di tegalan tersebut dijumpai makam prajurit Mataram bernama Tebu Ireng dan Tebu Mangli. Makam Gedongan ini juga ditemukan dua makam anak-anak yang bernama Den Bagus Kembar berdampingan dengan kubur inang pengasuhnya. Menurut Tomo Semedi, kedua anak kembar itu adalah putera Panembahan Senopati, yang meninggal dunia ketika masih balita.
Selain itu, pada gerbang utama makam Gedongan dari sisi utara, terdapat makam Tumenggung Surontani. Letaknya persis masuk gerbang, seakan-akan makam tersebut mengemban tugas among tamu atau penyambut tamu bagi para peziarah. Bagi para pemburu keris sakti, nama Tumenggung Surotani ini amat dikenal. Untuk mendapatkan keris bertuah, mereka rela tirakat di makam tersebut. Dan, yang tak kalah misterius di Makam Gedongan, ada pohon pacar yang tumbuh di tengah makam. Menurut penuturan penduduk setempat, pohon tersebut dari dulu tidak pernah besar dan tidak pernah tinggi, tapi juga tidak pernah mati.
Karena di karang pategalan belakang rumahnya banyak dijumpai makam orang penting, maka pemiliknya, yakni kakak beradik H. Abdul Bakri Sastroatmaja dan Noto Siti, mereka mewakafkan tanahnya untuk perluasan makam tersebut. Keluarga keturunan H. Abdul Bakri Sastroatmaja memperoleh kehormatan, seluruh kerabatnya yang meninggal dunia dimakamkan di dekat Makam Kiai Gedong.

Di jagad kesenian, Kampung Gedongan ini juga dikenal sebagai tempat kejayaan ketoprak tobong. Disebut ketoprak tobong karena bangunan tempat pertunjukan ketoprak terbuat dari bambu beratap rumbia. Sedangkan tempat duduk penonton, berupa kursi untuk penonton berkantong tebal, dan gethek atau bangku jajaran bambu untuk penonton jelata berkantong cekak.
Tobong ketoprak yang paling tua bernama Kridha Mardi (1960), berada di kampung ini (sekarang gedung kantor Kelurahan Purbayan). Pintu masuknya dari arah barat, rumah dinas Ketua DPRD Kota Yogyakarta. Kemudian tobong ketoprak Wahyu Mataram (1970) di rumah limasannya ibu Noto Siti. Ketika itu masa kejayaan seniman ketoprak Kotagede, Berbudi Anjarwani menjadi tokoh utama, berpasangan dengan Yusinta. Lalu, tobong Ketoprak Ringin Dahana (1972) di utara Puskesmas Kotagede. Dan, tobong Ketoprak Dahana Mataram (1974) di Sarwage, sekarang di tempat itu berdiri Puskesmas Kotagede I. Ketoprak tobong pun surut seiring munculnya ketoprak di televisi. Ketoprak di televisi mengalami perkembangan pesat ketika menjadi ketoprak sayembara, yang akhir cerita maupun tokohnya harus ditebak penonton. Sejak itu, ketoprak tobong makin tidak terdengar, dan akhirnya memilih cara kematiannya sendiri.

(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG PURBAYAN

  
KAMPUNG PURBAYAN terletak sekitar 550 meter di timur Pasar Kotagede. Purbayan berasal dari kata Purbaya. Purbaya di sini dimaksudkan adalah Pangeran Purbaya yang merupakan putera ketiga Panembahan Senopati. Karena kawasan tersebut pernah menjadi tempat kediaman Pangeran Purbaya, kemudian diabadikan menjadi nama sebuah kampung. Masyarakat menyebutnya, Purbayan.
Dahulu, tempat kediaman tersebut masih bisa dikenali berupa tanah pekarangan. Sekarang telah menjadi permukiman padat penduduk, yang secara administratif berada di RW XII Purbayan. Kecuali diabadikan untuk nama sebuah kampung, Purbayan juga digunakan untuk nama sebuah kelurahan yang membawahi bekas 4 Rukun Kampung zaman dahulu, yaitu Gedongan, Basen, Alun-alun, dan Purbayan.

KAMPUNG PURBAYAN memiliki banyak potensi kesenian. Di antaranya adalah shalawatan maulid. Shalawatan maulid biasanya dilantunkan untuk peringatan maulid nabi dengan bacaan Arab yang dicampur dengan bahasa Jawa. Salah satu tokoh shalawatan maulid di KAMPUNG PURBAYAN adalah Sastro Sumarto. Ia mendirikan paguyuban shalawatan bernama Markabayan (Marsudi Kabudayan). Selain sebagai seorang seniman shalawatan, Sastro Sumarto juga perajin logam yang mumpuni. Di bidang kesenian lain, KAMPUNG PURBAYAN memiliki Pak Topo, satu-satunya seniman yang khusus melukis wajah raja-raja Mataram. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)