Wednesday, October 26, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG MRANGGEN


Kampung Mranggen berada sekitar 400 meter di barat laut Pasar Kotagede. Sebutan Mranggen ini berasal dari kata mranggi, yang berarti pembuat hiasan ornamen berupa ukiran kecil pada sarung keris dan tombak. Besar kemungkinan, di Kampung Mranggen ini dahulu pernah tinggal para abdi dalem mranggi.
                Kini, di Kampung Mranggen tidak ada lagi warganya yang berprofesi sebagai pembuat sarung keris dan tombak. Sebagaimana warga kampung lainnya, mereka sebagian bekerja sebagai perajin perak dan emas. Di kampung ini terdapat kantor Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y), yaitu sebuah organisasi yang dibentuk untuk melayani berbagai kebutuhan produksi perak di Kotagede.
                Dalam bidang kesenian tradisional, yang perlu dicatat dari kampung ini adalah lahirnya pemain ketoprak kaliber Yogyakarta, yaitu Sardjono. Sekitar tahun 1974, di tobong ketoprak Ringin Dahono di utara Puskesmas Kotagede, Sardjono berpasangan dengan Surajiyah menjadi pemain utama lakon-lakon garapan, seperti “Mayat Hidup” ataupun “Lintah Putih”. Semula, Sardjono bermain ketoprak pada acara-acara pitulasan di kampung. Ketika ketoprak tobong mengalami perkembangan pesat, Sardjono mulai merambahnya berpasangan dengan pelawak dari Kampung Samakan, Pardi Djenggo.
  Sampai sekarang, Sardjono masih total berkarib dengan ketoprak. Menulis naskah, menjadi pemain, atau sutradara ketoprak adalah dunia yang digelutinya dengan setia. Wajarlah kalau kemudian pemerintah mengangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil di Radio Republik Indonesia, Yogyakarta. Sebuah penghargaan yang pantas untuk seniman ketoprak dari Kampung Mranggen ini. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG JAGUNGAN


Kampung Jagungan berada sekitar 360 meter di tenggara Pasar Kotagede. Nama Jagungan diambil karena di tempat tersebut pada zaman dahulu merupakan sebuah kebun jagung. Kampung Jagungan bertetangga di sebelah selatan dengan Kampung Selokraman, dan sebelah utara dengan Kampung Boharen. Sebagai sebuah kampung, Kampung Jagungan hanya terdiri dari beberapa rumah.
            Di kampung ini ada perusahaan kerajinan khusus perhiasan pengantin tradisional terbuat dari kuningan. Perusahaan tersebut sudah 40 tahun lebih melayani konsumen.
            Narasi yang paling menarik dari Kampung Jagungan adalah, di tempat ini di tahun 1960 an pernah berdiri panggung ketoprak. Panggung ketoprak tersebut merupakan sarana aktivitas Partai Komunis Indonesia di bidang seni budaya. Di kampung ini Partai Komunis Indonesia juga beraktivitas di bidang bela diri yang bernama pencak silat Tunggal Hati. Dalam peragaannya, pencak silat Tunggal Hati biasanya diiringi dengan gamelan.
            Ketika muncul wabah tikus, sehingga menyebabkan panen petani gagal, Partai Komunis Indonesia yang peduli terhadap nasib petani membuat patung tikus pithi berukuran besar. Di tahun 1963, patung tikus raksasa tersebut diarak di sepanjang jalan protokol Kotagede menuju Lapangan Karang. Di Lapangan Karang muncul orasi sebentar, kemudian setelah selesai, patung tikus pithi tersebut disimpan di sebuah rumah di Kampung Mranggen.
            Tidak hanya membuat tikus pithi, ketika muncul konfrontasi Indonesia-Malaysia, Pemuda Rakyat pun berada di garda depan. Di kampung ini pula, organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia tersebut membuat patung kertas dengan sosok Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdur Rahman. Patung tersebut diarak di sepanjang jalan protokol Kotagede oleh Pemuda Rakyat, dibawa menuju Lapangan Karang, kemudian dibakar. Masyarakat bersorak, sambil mengepalkan tangan menghajar udara kosong, mereka berteriak lantang, “Ganyang Tengku! Ganyang Malaysia! Ganyang Tengku! Ganyang Malaysia!”
Di utara Kampung Jagungan terdapat Makam Boharen. Di timur makam tersebut, dahulu banyak timbunan sampah menggunung yang berdekatan dengan akar-akar rumpun bambu. Masyarakat sering melihat memedi atau hantu colok melintas. Memedi colok bentuknya berupa api yang muncul dari timbunan sampah, kemudian naik ke permukaan, dan lantas pergi. Belakangan, masyarakat yang rasional menyatakan, memedi colok itu adalah fosfor yang berasal dari akar rumpun bambu yang mengalami proses kimiawi. Tapi masyarakat awam sudah telanjur memasukkan memedi colok dalam perbendaharaan ‘kamus’ ketakutan mereka. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE BELIK PACE


Belik Pace terletak sekitar 1 km di selatan Pasar Kotagede. Belik Pace adalah sebuah mata air di tepi sungai kecil. Sungai kecil tersebut berasal dari mata air yang merupakan luberan Sendhang Seliran, serta mata air-mata air di tepi selokan Kampung Ledhok. Mata air tersebut dinamakan Belik Pace, karena di sekitar mata air tersebut tumbuh pohon pace (nama latinnya). Sungai kecil di tepi Belik Pace itu mengalir ke selatan, bertemu dengan Sungai Gajahwong di tempuran Sareman. Di tempuran Sareman ini, paguyuban kesenian jathilan Taruna Bakti Tama dari Dusun Singosaren, pernah melakukan ritual ngguyang atau memandikan kuda kepang pada malam Jum’at Kliwon.
                Sebelum munculnya jalan lingkar selatan, warga Dusun Singosaren dan sekitarnya sering memanfaatkan Belik Pace untuk mandi. Selain airnya yang jernih dan letaknya yang tersembunyi, Belik Pace juga lebih dekat dengan rumah mereka, dibandingkan jika harus mandi di Sungai Gajahwong. Mandi di Belik Pace bagi warga sekitar mungkin tidak hanya sebatas membersihkan diri. Mereka menikmati betul mandi di tempat yang alami ini.
                Di atas Belik Pace terdapat lumpang yang dikeramatkan warga sekitar. Keberadaan lumpang keramat tersebut tidak menyurutkan warga untuk tetap mandi di Belik Pace. Akan tetapi, sejak jalan lingkar selatan membelah Desa Singosaren, keberadaan Belik Pace dan lumpang keramat pun tak pelak menjadi korban. Kini, Belik Pace maupun lumpang keramat itu terkubur di bawah badan jalan lingkar selatan. . (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede, 2011)

Monday, October 24, 2011

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG GEDONGKUNING


Nama Kampung Gedongkuning diambil dari nama dari gedong perempatan yang dibangun di masa Sultan Hamengku Buwana II dari Keraton Yogyakarta. Di kawasan itu terdapat peninggalan situs pemandian Manuk Beri. Diduga, di kawasan tersebut dahulu merupakan tempat pemandian kerajaan yang cukup lengkap. Hal ini terlihat dari  sosok Manuk Beri dan liang pancurannya.
          Untuk mengelolanya, abdi dalem yang mengurusi pengairan dikerjakan oleh abdi dalem Juru Genthong, yang di kemudian hari tempat tinggalnya menjadi toponim kampung Juru Genthong di wilayah Banguntapan.
Di Gedongkuning diperkirakan dahulu ditinggali para kerabat keraton Yogyakarta. Selain situs pemandian Manuk Beri, di kampung ini juga dijumpai situs Benteng Batas Kota dan Alun-alun. Benteng Batas Kota yasan Sultan Hamengku Buwana II, semula di kawasan jalan Gedongkuning sebelah barat. Kemudian dipindah di sebelah timur, dan masuk di kawasan Banguntapan. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)

TOPONIM KOTAGEDE KAMPUNG REJOWINANGUN


Kampung Rejowinangun berada sekitar 2 kilometer di barat laut Pasar Kotagede. Rejowinangun adalah nama pesanggrahan yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwana II. Di Rejowinangun masih terdapat sisa beteng pesanggrahan yang terletak di sebelah timur SD Rejowinangun I dan II. Makna nama Rejowinangun, terdiri dari rejo dan winangun. Rejo artinya subur dan baik. Winangun artinya dibangun atau diolah dijadikan lebih baik dan lebih maju.
            Rejowinangun sebagai kawasan penyangga kawasan utara Kotagede, kini banyak tumbuh hasil kerajinan dan kuliner. Seperti hasil kerajinan dari fiber glass, kulit, konveksi pakaian, kerajinan ukir-ukiran, ahli melukis foto diri maupun reklame, dan poster.
            Di bidang kesenian, di Kampung Rejowinangun kesenian keroncong, larasmadya, dan mocopat tumbuh juga dengan baik. Begitu juga dengan kuliner gudeg tradisional, ayam bakar, maupun jamu gendong.
Masjid Al Fatah yang ada di pertigaan Rejowinangun, dahulu adalah bekas rumah tahanan zaman Belanda dan Jepang. Kondisinya saat itu kumuh dan angker. Kini, setelah berdiri Masjid Al Fatah, di kawasan tersebut tidak lagi kumuh dan angker, melainkan berdenyut dengan aneka aktivitas religius. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)