Kampung Jagungan berada sekitar 360 meter di tenggara Pasar Kotagede. Nama Jagungan diambil karena di tempat tersebut pada zaman dahulu merupakan sebuah kebun jagung. Kampung Jagungan bertetangga di sebelah selatan dengan Kampung Selokraman, dan sebelah utara dengan Kampung Boharen. Sebagai sebuah kampung, Kampung Jagungan hanya terdiri dari beberapa rumah.
Di kampung ini ada perusahaan kerajinan khusus perhiasan pengantin tradisional terbuat dari kuningan. Perusahaan tersebut sudah 40 tahun lebih melayani konsumen.
Narasi yang paling menarik dari Kampung Jagungan adalah, di tempat ini di tahun 1960 an pernah berdiri panggung ketoprak. Panggung ketoprak tersebut merupakan sarana aktivitas Partai Komunis Indonesia di bidang seni budaya. Di kampung ini Partai Komunis Indonesia juga beraktivitas di bidang bela diri yang bernama pencak silat Tunggal Hati. Dalam peragaannya, pencak silat Tunggal Hati biasanya diiringi dengan gamelan.
Ketika muncul wabah tikus, sehingga menyebabkan panen petani gagal, Partai Komunis Indonesia yang peduli terhadap nasib petani membuat patung tikus pithi berukuran besar. Di tahun 1963, patung tikus raksasa tersebut diarak di sepanjang jalan protokol Kotagede menuju Lapangan Karang. Di Lapangan Karang muncul orasi sebentar, kemudian setelah selesai, patung tikus pithi tersebut disimpan di sebuah rumah di Kampung Mranggen.
Tidak hanya membuat tikus pithi, ketika muncul konfrontasi Indonesia-Malaysia, Pemuda Rakyat pun berada di garda depan. Di kampung ini pula, organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia tersebut membuat patung kertas dengan sosok Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdur Rahman. Patung tersebut diarak di sepanjang jalan protokol Kotagede oleh Pemuda Rakyat, dibawa menuju Lapangan Karang, kemudian dibakar. Masyarakat bersorak, sambil mengepalkan tangan menghajar udara kosong, mereka berteriak lantang, “Ganyang Tengku! Ganyang Malaysia! Ganyang Tengku! Ganyang Malaysia!”
Di utara Kampung Jagungan terdapat Makam Boharen. Di timur makam tersebut, dahulu banyak timbunan sampah menggunung yang berdekatan dengan akar-akar rumpun bambu. Masyarakat sering melihat memedi atau hantu colok melintas. Memedi colok bentuknya berupa api yang muncul dari timbunan sampah, kemudian naik ke permukaan, dan lantas pergi. Belakangan, masyarakat yang rasional menyatakan, memedi colok itu adalah fosfor yang berasal dari akar rumpun bambu yang mengalami proses kimiawi. Tapi masyarakat awam sudah telanjur memasukkan memedi colok dalam perbendaharaan ‘kamus’ ketakutan mereka. (Erwito Wibowo, Hamid Nuri, Agung Hartadi: Toponim Kotagede, 2011)
No comments:
Post a Comment