Kampung Dolahan berada sekitar 200 meter di sebelah timur Pasar Kotagede. Kampung Dolahan merupakan tempat kediaman seorang tokoh yang bernama Kyai Amin Abdullah. Beliau merupakan seorang tokoh masyarakat yang cukup disegani. Masyarakat menyebutnya Lurah Dullah. Status lurah pada waktu itu adalah merupakan struktur kepangkatan di lingkungan abdi dalem Keraton Yogyakarta. Lurah Dullah dimakamkan bersama kaum kerabatnya di Kuburan Dolahan.
Kampung Dolahan menyimpan mitos yang masih dipegang sebagian masyarakat. Mitos itu berbicara tentang tumpes kelor. Tumpes kelor itu sendiri dipahami sebagai malapetaka kematian seakar-akarnya akibat melanggar pantangan. Sayangnya, mitos tersebut hanya mengambil satu model kejadian, kemudian diyakini seterusnya.
Ceritanya, ada sebuah keluarga yang sedang punya hajat menikahkan anaknya. Untuk meramaikan perhelatan, keluarga tersebut nanggap kesenian wayang orang. Beberapa hari kemudian banyak orang yang meninggal dunia, terutama yang terlibat punya hajat maupun pemain keseniannya. Peristiwa tersebut sama sekali tidak ada yang mengaitkan dengan epidemi pes yang melanda Kotagede pada waktu itu.
Hanya karena lontaran kesembronoan orang yang mengatakan, tumpes kelor tersebut terjadi karena ada sebuah pantangan yang dilanggar, yaitu tidak diperkenankan menggantung gong kalau menyelenggarakan kesenian yang mempergunakan seperangkat gamelan. Lontaran orang itu ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, sehingga masyarakat menciptakan ketakutannya sendiri. Kini, tahayul atau gugon tuhon tersebut sudah berangsur menghilang dari Kampung Dolahan.
Kesenian yang berkembang di kampung ini adalah orkes keroncong (dengan penyanyi keroncong kaliber nasional Subardjo HS), mocopat, panembromo, dan shalawatan.
Di Kampung Dolahan masih ada juga orang yang percaya adanya hantu penunggu kampung. Sebagian masyarakat menyebut sing mbaurekso Kampung Dolahan bernama Mbah So Dikromo. Mbah So Dikromo ini di saat-saat tertentu menampakkan wujudnya. Bentuknya berupa orang tua memakai iket tali dan mengenakan surjan. Namanya sering menjadi sebutan orang dikala barang-barang sepelenya ketlingsut (hilang).
Selain Mbah So Dikromo, ada satu lagi sosok yang dipercaya sebagai sing mbaurekso atau penunggu tempat-tempat angker di Kotagede. Sosok itu adalah Kiai Koso. Ketika menampakkan diri, sosok Kiai Koso itu wujudnya tinggi sekali.
Dahulu, di selokan yang menjadi batas Kampung Dolahan dan Pandean, ketika malam sering terdengar suara burung mistis keblak mengibaskan sayapnya. Masyarakat menggambarkan binatang lelembut tersebut sebesar kalkun dan punya sayap. Memedi keblak tersebut sangat populer di waktu dulu. Sekarang, selokan tersebut telah ditutup untuk akses jalan antar kampung.
Kampung Dolahan juga dikenal sebagai kampung festival. Banyak perhelatan tingkat regional dilangsungkan di kampung ini. Diantaranya, di tahun 1998 perhelatan Festival Seni Kampung, cikal bakal Festival Kotagede dilangsungkan di kampung ini dan dikunjungi perwakilan Bank Dunia untuk kawasan Asia dengan melakukan Rambling Through Kotagede selama 7,5 jam, menyaksikan lima potensi unggulan di Kotagede.
Sementara di tahun 2002, bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, di kampung ini dilangsungkan Festival Makanan Tradisional yang diikuti oleh pengusaha hotel maupun makanan dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian di tahun 2008, Dolahan termasuk 10 kampung di Kota Yogyakarta yang dipilih menyelenggarakan Babad Kampung oleh panitia Festival Kesenian Yogyakarta. Sedangkan tahun 2009 dan 2010, diteruskan dengan program “Yogyakarta Kampong Field School” bersama 10 kampung eks babad kampung. Acara ini berlangsung menjalin kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Kristen Duta Wacana, dan Australia National University, Canberra, Australia. Pada 2009, bekerjasama dengan Kantor Urusan Internasional Universitas Gadjah Mada, Kampung Dolahan menerima kunjungan tamu dari kawasan Asia-Pacific, dalam acara International Summer Student Program for a Better Understanding Among Nations.
Sedangkan di bulan Juli 2010, Kampung Dolahan menyelenggarakan Festival Keroncong Kampung yang diikuti 12 kampung. Di antaranya dari Kampung Sorosutan, Rejowinangun, Sewon, Kalasan, Mangkuyudan, Nyutran, Gowongan, dan beberapa kampung di sekitar Kotagede.
Dan di bulan Oktober 2010, Darwis Khudori, setelah lama meninggalkan Kotagede dan menetap di Perancis, ia datang di Kampung Dolahan sebagai inisiator dan koordinator acara Diversity In Globalised Society, dengan membawa 75 orang tamu peserta The Role of African and for a Sustainable World 55 Years After Bandung Asia-Africa Conference 1955, yang mengadakan jamuan makan malam sambil menonton Tarian Karonsih dan menikmati alunan orkes keroncong dari Kampung Dolahan. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)
No comments:
Post a Comment