Dulu, ketika masyarakat Bumen belum maju, mereka masih mempergunakan pekarangan rumah untuk kakus-kakus (WC) yang ditutupi gedhek atau dinding anyaman bambu. Anak-anak sepulang sekolah setiap melintas Kampung Bumen, selalu mengolok-olok, “Bumen, mambu yo men” atau ”bau ya biarkan saja”.
Di masa lalu (1960-an), KAMPUNG BUMEN juga dikenal sebagai sentra industri barang-barang perkakas dapur yang terbuat dari blek atau kaleng. Blek tersebut berasal dari kaleng bekas mentega dan kaleng minyak lainnya, termasuk besi janur bekas tali penguat tong-tong kontainer. Industri rumah tangga dari blek itu menghasilkan perkakas berupa ceret, kompor, alat pengiling (pemindah minyak dengan cara dipompa), lentera api, senthir minyak, torong, sorok sampah, talang air, tempat makan ayam, dan sebagainya. Aktivitas yang luar biasa dari perajin blek di Kampung ini menghasilkan limbah guntingan blek yang membukit.
Ketika masih mengalami masa kejayaan, mereka membentuk koperasi yang bernama Koperasi Pengusaha Blek Kotagede (KPBK), yang bekerja di pengadaan barang bekas dan pemasaran bersama. Sektor ekonomi mikro ini cukup tangguh, mapan dan maju. Semacam ada korelasi, ketika ekonomi dasar masyarakat maju, olah kesenian juga maju. Sehingga ketika ada waktu luang, di malam hari dipergunakan oleh sebagian masyarakat Bumen untuk mengekspresikan diri secara komunal di bidang aktivitas kesenian. Di Kampung Bumen, berbagai kelompok kesenian maju, seperti ketoprak, karawitan, mocopat, srandul, dan sholawatan. Kesenian-kesenian tersebut sampai sekarang masih bertahan.
Kesenian lama dari KAMPUNG BUMEN yang hilang adalah kebiasaan masyarakat Bumen mengarak sepasang gendruwo lanang wedhok dalam setiap acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Pada tahun 2010, ketika Yayasan Pondok Rakyat masuk ke Kampung Bumen dengan program “Srawung Kampung”, kebiasan ngarak sepasang gendruwo itu dibangkitkan lagi. Rutenya, dari Kampung Bumen mengitari Pasar Kotagede, lalu diteruskan kembali ke Kampung Bumen.
KAMPUNG BUMEN juga merupakan sentra pengolahan roti kembang waru yang diolah secara tradisional. Pengolah roti kembang waru berhimpun dalam paguyuban koperasi yang bernama Purba Arum, beranggotakan 23 keluarga. Peralatan pengolah roti kembang waru, yaitu memanfaatkan sisa-sisa ketrampilan kejayaan industri rumahtangga blek yang cara membuatnya banyak mempergunakan teknik sentuhan dengan patri nyuk. Patri nyuk sendiri adalah teknik patri tradisional, biasanya menggunakan bekas besi tapal kuda yang telah diberi gagang lalu dibakar. Setelah besi tapal kuda tersebut menyala merah, cukup disentuhkan pada bahan patri setelah terlebih dahulu dioleskan pada segumpal gondorukem. Fungsi gondorukem untuk mempercepat cairan patri merata pada proses penyambungan. Karena cara kerjanya disentuhkan sebentar, orang-orang menyebutnya patri nyuk. Perkakas pengolahan roti kembang waru banyak mempergunakan jasa patri nyuk, seperti alat oven, berbagai bentuk loyang persegi, dan cetakan kembang waru sendiri.
(ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)
No comments:
Post a Comment