Di antara kampung-kampung di Kotagede, KAMPUNG TEGALGENDU adalah satu-satunya yang berada di barat Sungai Gajahwong. Asal mula nama Tegalgendu sendiri ada beberapa versi. Versi pertama berkaitan dengan kisah Kyai Ageng Mangir. Konon, ketika melewati kawasan ini yang masih berbentuk tegalan, hati Kyai Ageng Mangir ragu-ragu atau gendha-gendhu, ingin meneruskan menghadap Panembahan Senopati atau tidak. Versi lain mengatakan, nama Tegalgendu diambil karena di kampung ini dikenal sebagai kawasan orang kaya (wong mblegedhu). Namun, sampai kini belum ada kajian akademik yang meyakinkan dari mana asal mula nama Kampung Tegalgendhu yang sebenarnya.
Yang kita tahu, di Kampung Tegalgendu ini dahulu pernah tinggal Ki Prawiro Suwarno Tembong, orang kalang yang terkenal dengan sebutan Raja Berlian dari Tanah Jawa. Kisah Ki Prawiro Suwarno Tembong, sampai kini masih sering diperbincangkan masyarakat Kotagede. Bukan hanya karena kekayaannya, kebiasaan-kebiasaan eksentriknya, namun juga tragedi perampokan yang telah menimpa dirinya.
Perampokan pertama terjadi pada hari Rabu, beberapa hari sebelum aksi militer Belanda kedua tangal 19 Desember 1948. Perampokan pertama ini selain menimpa rumah Tembong, juga dialami keluarga Projodrono di Kampung Darakan. Pada siang hari, beberapa orang yang melumuri muka mereka dengan lumpur dan berpakaian sipil serta militer, tanpa ragu-ragu memasuki rumah kedua orang kalang tersebut. Para perampok itu membawa pergi harta korban tanpa mendapat perlawanan. Kedua korban itu melapor kepada komandan keamanan di Kotagede, sekaligus mengidentifikasi para perampoknya. Sayangnya, laporan itu tidak digubris.
Keputusan untuk tidak menyelidiki perampokan itu akhirnya memicu perampokan kedua. Peristiwa perampokan yang lebih besar ini terjadi beberapa hari setelah kota Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Perampok dalam jumlah besar itu hanya menjarah rumah Tembong. Selain membawa pergi uang dan perhiasan dalam jumlah yang amat banyak, para perampok juga membawa pergi tidak kurang dari 15 batang emas murni sebesar kaleng minyak tanah, dekorasi berbentuk sepasang gula jawa terbuat dari emas murni, setandan pisang terbuat dari emas murni, dan berusaha membunuh Tembong, namun gagal. Para perampok dengan mudah menghilang melalui Sungai Gajahwong, dan meninggalkan safety box sepanjang tepi sungai.
Segera setelah perang usai, sebagian penduduk Kotagede secara tiba-tiba menjadi sangat kaya dan berperilaku aneh. Salah seorang dari keluarga miskin yang dicurigai sebagai istri perampok, tanpa malu-malu memakai suweng atau subang berlian ketika menghadiri hajatan pengantin. Salah seorang yang lain yang juga dicurigai ikut merampok, memiliki kebiasaan baru yang aneh, yaitu memakan enam telur goreng sekali makan. Ditengah situasi mahal sandang dan pangan, nggadho endhog (makan telur bukan sebagai lauk makan nasi), terlebih lagi enam sekaligus, adalah perilaku boros yang melebihi batas.
Sementara itu, sebagian penduduk Kotagede yang lain mulai membuka usaha kerajinan yang memerlukan modal besar. Padahal, sebelumnya mereka hanyalah buruh dan petani dengan kemampuan ekonomi rendah. Tidak mengherankan jika ada yang berpendapat, bahwa sebagian interpreuner yang berhasil di Kotagede sekarang memulai bisnis mereka dari harta benda yang dirampok dari keluarga Tembong di Tegalgendu. Meski sudah berganti pemilik, kini sisa-sisa kejayaan keluarga Kalang di Kotagede masih bisa terlacak di kampung ini. (ERWITO WIBOWO, HAMID NURI, AGUNG HARTADI: TOPONIM KOTAGEDE, 2011)